Senin, 24 Januari 2011

[FFSuju/PG15/Copy+Paste/Chapter] Death kiss Part 9

Source : Sapphireblueoceanforsuju




HYE-NA’S POV

Aku terbangun kaget keesokan harinya saat menyadari ranjang di sampingku sudah kosong. Aku menarik selimut untuk menutupi tubuhku, merasakan luapan kegembiraan yang menggebu-gebu di sekujur tubuhku. Lalu sedikit rasa malu.
Aku meraih secarik kertas yang tergeletak di atas bantal.

Maaf, aku ada acara pagi ini, sengaja tidak mau membangunkanmu. Ah… dan terima kasih untuk malam terindah dalam hidupku….

-Kyuhyun-

Aku tersenyum membaca kalimat terakhir dalam suratnya. Manis sekali….

***

KYUHYUN’S POV

Aku menghembuskan nafas pelan. Aku tidak ada pekerjaan yang terlalu penting sebenarnya pada hari ini, aku hanya merasa harus meninggalkannya karena tidak tahu harus berkata apa saat dia terbangun nanti.
Bagaimana kalau dia menyesal? Bagaimana kalau ternyata dia sama sekali tidak sudi hal itu terjadi? Aku sama sekali tidak siap dengan semua penolakannya nanti.

***

HYE-NA’S POV

Aku mengangkat HP-ku yang dari tadi terus menerus berdering nyaring. Tersenyum saat tahu siapa yang menelepon.
“Hai,” ujarku gugup, teringat lagi tentang kejadian semalam.
“Hai. Bisakah kau memesan makanan dari restoran untuk mala mini? Untuk sekitar 20 orang. Eomma tadi menelepon, katanya hari ini ada acara kumpul keluarga dan mereka ingin melkaukannya dia apartemen kita.”
Aku tersenyum sinting, menyukai caranya menggunakan kata kita.
“Baiklah.”
“Ya sudah. Annyeong!”
Telepon di seberang terputus begitu saja. Aku mengerutkan kening, kenapa dia jadi aneh seperti itu?

***

Eomma, appa, Eunhyuk, dan Ji-Yoo sudah datang. Appaku menyusul beberapa menit kemudian. Kami semua sibuk menyiapkan ruangan, menata makanan di atas meja. Aku mulai agak panik sekarang, kenapa Kyuhyun belum datang juga?
Dia baru datang sekitar jam 8, saat semua orang sudah berkumpul. Setelah ganti pakaian, dia bergabung dengan kami. Meminta maaf atas keterlambatannya.
Aku menatapnya dari seberang ruangan. Sweater biru dan celana jins putih itu membuatnya tampak amat sangat tampan. Tapi ada yang salah sepertinya. Dari tadi tidak pernah sekalipun dia menatap ke arahku.
Kepercayaan diriku mulai runtuh. Apa dia menyesal karena melakukannya?
Salah seorang bibi Kyuhyun yang sedikit sinis hanya semakin memperburuk keadaan.
“Lihat, sepertinya kalian ini aneh. Kurasa perjodohan berakibat tidak baik bagi mereka. Mereka tidak cocok jadi suami istri. Coba pikir, bagaimana mungkin gadis ini belum hamil sampai sekarang? Atau jangan-jangan kau masih perawan?” selidiknya ke arahku. “Apa Kyuhyun tidak sudi menyentuhmu?”
“Young-Ri, jaga bicaramu!” tegur eomma marah.
Aku bangkit berdiri.
“Maaf, kurasa kalian butuh tambahan minuman, biar kuambilkan,” ujarku, lalu menghilang ke arah dapur.
Aku bersandar pada meja dapur. Mencoba menenangkan diri. Sesaat kemudian Kyuhyun sudah muncul di hadapanku. Aku menunduk, menolak menatapnya.
“Gwaenchana?” tanyanya khawatir.
Aku mendongak, menatapnya kesal.
“Bagaimana mungkin aku tidak apa-apa?” ujarku ketus.
Dia mendekat, memegangi lenganku. Aku menepisnya dengan kasar.
“Tidak perlu repot-repot mencemaskanku. Dari tadi kau sama sekali tidak mau melihatku, kan? Kenapa? Apa aku menijikkan?” semburku marah.
Dia menatapku tajam. Aku mnedengar suara-suara mendekat.
“Belum apa-apa mereka sudah bertengkar!” seru Young-Ri ajjumma.
“Kupikir kita harus memperlihatkan sesuatu,” ujar Kyuhyun seraya mendudukkanku ke atas meja sehingga wajahku sejajar dengannya. Aku terkesiap saat dia menciumku, bertepatan saat ajjumma masuk ke dapur.
“Dasar anak muda!” gumamnya lalu pergi meninggalkan kami. Tapi aku tidak memedulikannya. Aku malah sibuk memikirkan tentang ciuman ini. Ciuman ini aneh. Dingin. Seolah-olah dia dengan sangat terpaksa melakukannya.
Dia mendorongku, menegakkan tubuhnya dengan kaku.
“Terima kasih,” gumamnya.
“Sama-sama!” ujarku ketus.

***

Keesokan paginya aku memutuskan untuk berbicara padanya. Aku sudah memikirkannya semalaman, berusaha mencari jawaban, tapi tak mendapatkan apa-apa.
Aku membuka pintu kamarnya. Kosng. Aish, dia bahkan tidak mau bertemu denganku.
Satu minggu lewat dengan keadaan yang sama. Aku nyaris gila dengan ini semua. Pada malam ke-7, aku memutuskan untuk menunggunya pulang. Ini benar-benar sudah kelewatan. Tengah malam aku mendengar pintu masuk terbuka. Aku menghidupkan lampu, mendapatinya terkesiap kaget saat melihatku.
“Aku mau bicara,” ujarku dingin.
“Ini sudah malam, Hye-Na~ya. Besok saja,” elaknya.
“Oh, dan besok subuh-subuh kau sudah pergi lalu baru pulang lewat tengah malam. Kau pikir aku tidak tahu isi otakmu?!”
“Oke, kau mau apa?” tanyanya, terpaksa mengalah.
Aku terdiam, mencari kata-kata yang tepat.
“Kau menyesal dengan apa yang terjadi malam itu.”
Dia menatapku dengan raut wajah frustasi.
“Menyesal? Dan kau tidak?” teriaknya.
“Dan kenapa aku harus menyesal?” Aku membalikkan pertanyaannya.
“Bukan hal aneh kalau kau berpikir bahwa tidak seharusnya kau tidur denganku. Karena aku bukan namja yang pantas untukmu mungkin? Kau kan tidak menyukaiku.”
“Oke, kita harus melalui tahap pura-pura ini. Aku sama sekali tidak menyesal tidur denganmu. Jelas?”
“Sekarang memang tidak, allu bagaimana kalau kau hamil? Kau akan meneriakiku karena membuat tubuhmu membesar, melahirkan anak yang sama sekali tidak kau inginkan.”
“Aku bukan gadis seperti itu! Aku tidak tahu apa yang kau pikirkan tapi bisa-bisanya kau menuduhku seperti itu! Mungkin kau yang menyesal karena meniduriku, dilanda ketakutan bahwa kau akan menjadi seorang ayah di saat karirmu sedang menanjak, bahwa seorang anak hanya menambah sesak hidupmu saja!” teriakku.
Dalam sekejap dia sudah berdiri di hadapanku, menarikku ke dalam pelukannya.
“Kita harus melewati semua kepura-puraan ini, kan?” gumamnya. “Aku sudah bilang bahwa itu malam terindah dalam hidupku, aku sama sekali tidak keberatan menjadi ayah asalkan itu berasal dari rahimmu. Aku hanya ketakutan bahwa kaulah yang menolak itu semua. Baguslah kalau tidak.”

***

Dia mengantarku ke kampus keesokan paginya, membukakan pintu untukku lalu memaksa untuk mengantarku sampai ke dalam. Seandainya dia mencintaiku, pasti ini semua akan semakin sempurna.
Semua orang memperhatikan saat dia mengecup keningku pelan lalu berbalik pergi setelah memastikan bahwa aku akan baik-baik saja.
Baru saja dia menghilang, seseorang langsung merusak hari indahku.
“Oh, manis sekali!” ujar Jin-Rin, salah seorang mahasiswi tercantik di kampus, seraya bertepuk tangan pelan, disertai dengan pengikut-pengikut setianya.
“Tidak tahu apa Kyuhyun itu buta atau memang bodoh sehingga memperistri yeoja sepertimu! Masih mending selingkuhannya si Eun-Ji itu, setidaknya dia cantik. Sedangkan kau? Aku sebagai fans terberatnya menyesali hal ini.”
Dia mendekatiku, menatapku sadis.
“Lihat wajahmu,” ujarnya seraya memegangi daguku dengan tangan kanannya. “Pembantu di rumahku saja masih jauh lebih cantik darimu.”
Lalu tiba-tiba saja dia mendorong tubuhku dengan kasar sampai kepalaku terbentur ke dinding. Aku merasakan sakit menderaku tanpa ampun. Perutku terasa mual mencium bau darah. Aku mendengar orang-orang mulai berteriak panik, kemudian semuanya gelap.

***

KYUHYUN’S POV

Belum sampai satu menit aku keluar dari gerbang kampus, aku melihat HP-nya tergeletak di atas jok kursi penumpang. Aku memutuskan untuk berbalik arah, berniat mengembalikan HP itu padanya.
Baru saja turun dari mobil, aku mulai merasa ada sesuatu yang tidak beres. Aku mempercepat langkahku, berlari panik ke arah kerumunan orang-orang. Benar saja, aku melihat Eunhyuk sedang menopang tubuh Hye-Na. darah mengalir dari kepalanya.
“Biar aku saja,” uajrku saat Eunhyuk berdiri untuk mengangkat tubuh Hye-Na. dia menyerahkan Hye-Na padaku, mengikuti langkahku ke mobil.
“Apa yang terjadi?” tanyaku, memberi kunci mobil ke Eunhyuk, menyuruhnya mengemudi. Aku lebih memilih menjaga Hye-Na di kursi belakang.
“Jin-Rin mengganggunya. Yeoja tercantik di kampus. Mengatainya yang tidak-tidak. Kalau Hye-Na tidak pantas untukmu. Yeoja sialan! Biar aku yang mengurusnya nanti,” ujar Eunhyuk geram.
“Tidak. Biar aku saja. Aku akan membuatnya menyesal.”

***

“Ji-Yoo~a, aku tidak bisa ke studio sekarang,” kataku setelah Ji-Yoo mengangkat teleponnya.
“Kenapa?”
“Aku ada di rumah sakit sekarang, jadi….”
“Siapa yang sakit? Istrimu?” selanya sebelum aku sempat menjelaskan apa-apa.
Aku tersenyum.
“Bukan. Mukjizat pribadiku,” ujarku sambil menutup telepon.

***

Aku membuka pintu ruangan dokter yang memeriksa Hye-Na. Dia menyuruhku menemuinya tadi.
“Silahkan duduk,” katanya, menunjuk kursi di depan mejanya.
“Ada masalah?” tanyaku cemas.
“Masalah besar. Besar sekali,” ucapnya dengan suara lebar.
Dokter sialan, batinku. Istriku sakit dia malah tertawa.
“Selamat, istri Anda hamil. Anda akan segera menjadi seorang appa.”

***

HYE-NA’S POV

Aku membuka mataku perlahan, mengerjap saat cahaya matahari terasa menyilaukan mataku. Rasa sakit yang berdenyut-denyut di kepalaku digantikan rasa butuh yang sangat untuk menatap wajahnya.
Dan Tuhan mengabulkan permintaanku.
Kyuhyun menunduk di atasku, senyum lebar tersungging di bibirnya. Oh, dia bahkan terlihat lebih tampan dari mimpiku tadi.
“Hai, kau sudah bangun,” ujarnya seraya mengusap kepalaku. Sentuhannya terasa menenangkan.
“Hmm.” Aku menggumam, meliriknya curiga. “Ada yang ingin kau katakan?” selidikku, membuat senyumnya bertambah lebar.
“Beberapa hari yang lalu kau sudah bilang ini tidak akan menjadi masalah,” ujarnya lalu menyentuhkan bibirnya sekilas ke keningku.
“Apa?” tanyaku tak sabar.
“Bagaimana menurutmu kalau aku jatuh cinta pada seseorang?”
Aku merasakan tubuhku ditusuk berates-ratus jarum sekaligus.
“Bagus. Siapa?” tanyaku berpura-pura tidak mempermasalahkan ucapannya.
“Aku belum tahu siapa dia. Sepertinya kita harus menunggu 9 bulan lagi.”
“9 bulan?” ulangku tak percaya. Sebuah pemahaman baru melintas di benakku. Aku nyaris tidak bisa berkata apa-apa saking kagetnya.
Setelah berhasil menenangkan diri, aku menatapnya.
“Kau tidak mau memelukku?” tanyaku menawarkan. Kali ini aku yang tersenyum lebar.
Dia menunduk, melingkarkan tangannya dengan hati-hati di sekeliling tubuhku. Senyum bahagia melintas di wajahnya.
Anak… seorang anak sedang tumbuh di rahimku. Darah dagingnya….

***

KYUHYUN’S POV

Aku turun dari mobil lalu berjalan memasuki kampus Hye-Na. aku kesini untuk memberi pelajaran pada gadis sialan bernama Jin-Rin itu. Dia harus mendapat balasan atas perlakuannya terhadap istriku.
Hye-Na sendiri sekarang sedang dimonopoli oleh eommaku. Beliau memaksa kami pindah lagi ke rumahnya agar dia bisa menjaga Hye-Na saat aku tidak ada. Aku sama sekali tidak keberatan, ide itu cukup bagus untuk keselamatan anak kami.
“Kau tahu Jin-Rin ada dimana?” tanyaku pada seorang gadis yang kebetulan lewat. Dia mematung saking syoknya menatapku. Aku harus menunggu beberapa saat sampai dia bisa mengendalikan diri dan menjawab pertanyaanku.
“Di kan… tin,” ucapnya terbata-bata.
“Terima kasih,” sahutku sambil tersenyum padanya.
Aku berghegas ke arah kantin, bertanya lagi pada seseorang karena aku tidak tahu seperti apa wajah si Jin-Rin itu. Aku memutuskan bertanya pada seorang namja sekarang, agar tidak terlalu banyak menghabiskan waktu.
Dia menunjuk seorang yeoja yang duduk di sudut kantin. Dia sedang tertawa-tawa bersama para pengikutnya, menurut dugaanku.
Aku menelitinya dari jauh, mencaci dalam hati. Apa cantiknya dia?
“KYUHYUN OPPA?!” serunya kaget saat aku sampai di hadapannya. “Ayo duduk!” katanya seraya memberi kode kepada teman-temannya untuk memberikan kursi mereka kepadaku.
“Tidak perlu,” ujarku dingin. “Aku pikir tidak perlu basa-basi untuk bicara padamu, aku takut kau tidak bisa mencerna ucapanku. Dengar, aku tidak peduli apapun pendapatmu tentang Hye-Na, tapi dia istriku. Walaupun aku disuruh memilih di antara seratus gadis seperti kau, aku tidak perlu pikir panjang lagi untuk memilihnya. Kau bahkan tidak memiliki seperseribu dari kesempuranaannya. Kau hanya yeoja yang mengagung-agungkan kecantikan tapi otakmu kosong dan hatimu busuk seperti sampah. Merana sekali namja yang mau jadi kekasihmu. Kusarankan lebih baik kau bercermin terlebih dahulu sebelum mengata-ngatai orang lain. Jujur saja, kau sama sekali tidak menarik minatku,” kataku sinis lalu melangkah pergi meninggalkannya yang mematung kaku dengan wajah syok menahan malu. Aku tertawa dalam hati memikirkan nasibnya di kampus hari-hari ke depan. Seisi kampus mendengar ucapanku dan bukan hal yang aneh jika dia menjadi bahan olok-olokan setelah ini. Aku bahkan berani bertaruh dia tidak akan sanggup memunculkan batang hidungnya lagi di tempat ini.

***

HYE-NA’S POV

“Hai,” sapaku saat melihat Kyuhyun muncul di pintu kamar.
Dia tersenyum, mendorong pintu kamar hingga tertutup kemudian duduk di sampingku.
“Kau sudah baikan? Masih pusing?”
Aku menggeleng.
“Kau dari mana?” tanyaku.
“Dari kampusmu. Memberi pelajaran pada yeoja sialan itu.”
“Yang benar?! Kau ini! Seharusnya tidak perlu seperti itu!” seruku kaget.
“Dia memang pantas menerimanya,” ujar Kyuhyun seraya mengedikkan bahu tidak peduli. “Kau sudah makan?”
Lagi-lagi aku menggeleng. “Tidak, aku tidak nafsu makan,” jelasku.
“Nanti… seandainya kau ngidam, tolong jangan yang aneh-aneh, oke?”
Aku tertawa geli melihat ekspresinya.
“Oke, tenang saja.”

***

6 bulan berlalu. Diiringi keanehan-keanehan baru dalam hidupku. Kyuhyun yang setiap pagi bangun membuatkan susu untukku, Kyuhyun yang selalu menemaniku kemanapun aku pergi, Kyuhyun yang rela meninggalkan pekerjaannya untuk mengurusku, sampai-sampai aku sempat mengira bahwa dia mencintaiku, yang kemudian dihempas kenyataan kalau dia hanya tidak ingin terjadi apa-apa terhadap anaknya.
Hari ini wisudaku. Cukup dadakan sebenarnya karena kupikir skripsiku tidak akan selesai tepat waktu. Tapi hidupku memang selalu beruntung sepertinya. Sayang sekali appaku tidak bisa datang hari ini karena kesibukannya. Tidak apa-apa juga, toh ada eomma yang menemaniku.
Tapi brengseknya, suamiku yang sialan itu sama sekali tidak tampak batang hidungnya dari tadi. Acara baru saja selesai dan masih tidak ada juga tanda-tanda bahwa dia akan datang.
“Hye-Na~ya, eomma mau ke toilet sebentar. Toiletnya di sebelah sana, kan? Kau tunggu saja disini, sebentar lagi supir datang,” kata eomma sembari bergegas pergi.
Aku mengangguk, menyandarkan kepalaku ke sandaran kursi taman, terpaksa menutupi mata untuk menghindari cahaya matahari yang menyilaukan. Kemudian tiba-tiba saja cahaya itu menghilang, dihalangi oleh seseorang yang menunduk di atasku.
Aku membuka mata, mendesah lega saat mendapati bahwa dialah yang berada di ahdapanku.
“Kupikir kau tidak akan datang,” ejekku.
“Tadi ada urusan di kantor. Selesainya memang tepat waktu, tapi tadi ada kecelakaan di jalan, jadi macet,” jelasnya seraya menyodorkan sebuket bunga ke arahku.
Aku mengambilnya dengan antusias, membenamkan hidungku ke dalam keharuman bertangkai-tangkai bunga lili putih itu.
“Kau tahu darimana bunga kesukaanku?”
“Sedikit merendahkan diri sebenarnya. Aku bertanya pada Eunhyuk. Dan dia benar-benar menyebalkan!” desis Kyuhyun geram.
“Kau suka? Awas saja kalau tidak!” ancamnya.
Aku tertawa lalu mengangguk senang. Dan tiba-tiba saja dia sudah menunduk lalu memberi kecupan ringan di bibirku.
Aku berharap aku bisa terbiasa dengan hal ini, tapi nyatanya tidak pernah. Setiap sentuhannya berakibat fatal pada seluruh jaringan syarafku dan itu benar-benar memalukan.
“Siapa gadis pertama yang kau cium?” tanyaku penasaran. Tempat dan waktu yang salah sebenarnya, tapi masa bodohlah, aku tidak bisa menyimpan pertanyaan ini lebih lama lagi.
“Kau,” sahutnya enteng.
“Tapi kau belajar darimana? Masa bisa semahir itu?”
Dia tertawa geli mendengar ucapanku. “Kemampuan alami,” katanya, terlihat puas pada diri sendiri.
“Memangnya kau tidak merasakan apa-apa saat menciumku?” tanyaku lagi.
“Kalau kau?”
“Jawab dulu pertanyaanku!” bentakku kesal.
“Aku akan menjawab kalau kau juga menjawab pertanyaanku tadi terlebih dahulu,” ujarnya menyebalkan.
“Jujur saja, rasanya seperti candu,” akuku setelah beberapa saat.
“Wah, Hye-Na~ya, ini tempat umum, loh!” guraunya.
“Sialan kau! Kau mau menjawab pertanyaanku atau tidak?” gertakku.
“Aku namja, tentu saja menciummu memberi dampak besar untukku. Kau tidak tahu saja bagaimana sulitnya mengontrol diri saat minggu-minggu pertama pernikahan kita. Kau terlalu menggoda soalnya.”
Aku memalingkan wajahku ke arah lain, malu mendengar ucapannya. Aku menggoda? Astaga, dia pasti sudah gila!

***

Kandunganku sudah mulai membesar. Untung saja aku tidak ngidam yang aneh-aneh. Yang paling parah hanya waktu aku ngidam makan ddubbokki tengah malam, sehingga Kyuhyun harus berkeliling mencarinya. Tapi gilanya, aku malah tidak nafsu lagi melihatnya saat makanan itu sampai di hadapanku. Dan anehnya, Kyuhyun sabar sekali menghadapiku.
Sialnya, malam ini aku menginginkan hal lain yang sebenarnya mudah, tapi begitu memalukan untukku.
“Kyuhyun~a,” panggilku, berusaha menekan harga diriku sampai ke tingkat paling minimum.
Dia menoleh dari komputernya, memutar kursinya menghadap ke arahku.
“Aku….”
“Kau ngidam lagi?” tebaknya melihat gelagatku.
“Sepertinya,” uajrku dengan wajah memerah.
Merasa penasaran, dia berdiri lalu duduk di sampingku. Keringat dingin mulai membasahi tubuhku. Kamar ini tiba-tiba saja terasa panas.
“Jangan marah,” pintaku.
“Tergantung.”
“Pada?”
“Apa yang kau inginkan,” jawabnya.
Dengan rikuh aku beringsut sedikit mendekatinya, berlutut di atas tempat tidur. Sekilas aku bertanya dalam hati, bagaimana mungkin aku memiliki suami setampan ini?
Aku melihat alisnya berkerut heran saat aku mengalungkan tanganku ke lehernya. Aku menunduk, dnegan hati-hati menempelkan bibirku ke bibirnya.
“Kau memintaku agar jangan marah? Seharusnya kau memperingatkanku agar tidak lepas control, Hye-Na,” gumamnya di sela-sela ciuman kami.
Dia mendudukkanku ke atas pangkuannya, membiarkanku yang mengambil alih. Tapi aku terlalu malu untuk melakukannya, sehingga akhirnya dia mengambil inisiatif. Perlahan dia membuka bibirku, berhati-hati menelusupkan lidahnya. Beberapa detik kemudian kami saling menjauh, terengah-engah mengambil nafas.
“Hanya ciuman?” tanyanya memastikan.
Aku mengangguk malu lalu mengambil jarak darinya.
“Kau mau tidak bernyanyi untukku? Hanya sampai aku tertidur,” pintaku.
“Aku punya lagu baru, tapi belum ada lirik. Mau dengar?”
Aku mengangguk. Dia mengambil gitar yang tersandar di sudut ruangan lalu memainkan melodi asing yang belum pernah aku dengar sebelumnya. Iramnaya menenangkan.
Huft, bisakah seseorang memberitahuku bagian mana dari dirinya yang tidak mempesona?

***

KYUHYUN’S POV

“Hai, saengil chukhahae!” seru Hye-Na saat aku baru membuka mata, terbangun dari tidurku.
“Memangnya sekarang tanggal berapa?” tanyaku seraya merentangkan tangan, meregangkan otot-ototku.
“3 Februari,” katanya.
Dia duduk di sampingku, menyodorkan segelas teh dan roti bakar.
“Romantis sekali,” ejekku, memajukan tubuhku sedikit untuk mengecup keningnya.
“Kau mau hadiah apa?” tanyanya dengan wajah memerah.
Aku memutar otak sesaat.
“Bagaimana kalau siang nanti kau memasak untukku?”
“Eh, ng… yang lain saja bagaimana? Aku tidak bisa memasak,” ujarnya gugup.
“Tapi waktu itu kau menawarkan diri untuk membantu eomma memasak.”
“Itu hanya basa-basi. Aku tahu eomma tidak akan membiarkanku melakukannya.”
“Tidak, kau harus melakukannya untukku. Ini kan hari ulang tahunku, aku boleh minta apa saja!” kataku disambut erangan panik darinya.
“Tidak boleh memintta bantuan pada eomma,” tukasku mengingatkan.
“Huh, lebih baik aku melupakan ulang tahunmu saja tadi. Akibatnya buruk sekali!”

***

Dia mengantarku sampai ke depan mobil, masih dnegan tampang cemberutnya.
“Jangan lupa memasak. Nanti aku pulang waktu makan siang.”
“Bagaimana kalau tidak enak?” rajuknya.
“Aku orang yang menghargai kerja keras, Hye-Na. bagaimanapun rasa masakanmu nanti, aku akan tetap memakannya, jadi tenang saja.”
Dia mendengus kesal, marah akan kegagalan usahanya untuk membujukku.
Aku tersenyum dan mengecup keningnya.
“Aku pergi dulu,” ucapku sambil mengacak-acak rambutnya.
“Hmm… hati-hati,” balasnya.
Aku mengangguk.
“Jaga anak kita baik-baik, oke?” pintaku, mengelus perutnya sekilas lalu berbalik pergi.

***

HYE-NA’S POV

Aaaaaargh!!! Sial! Aku harus masak apa?!! Mampus! Merebus air saja aku belum pernah! Astaga, ini benar-benar menyebalkan!

***

Aku menatapnya deg-degan saat dia menyendok ramyeon buatanku. Yups, ramyeon! Dengan kerja keras yang tidak bisa dibandingkan dengan apa pun. Mulai dari merebus air dan tetek bengek lainnya.
“Hye-Na~ya,” gumamnya setelah suapan pertama sudah ditelannya. “Kau parah sekali.”
“M… mwo? Kau!” geramku.
Dia mengerlingkan matanya lalu menyodorkan mangkuk mie rebus itu kepadaku, menyuruhku mencobanya. Takut-takut aku menyendok ramyeon itu lalu menyuapkannya ke dalam mulutku. Refleks aku nyengir ke arahnya.
Dia menatapku putus asa, menggeleng-gelengkan kepalanya.
“Terlalu banyak air. Rasanya benar-benar tawar,” sergahnya tak percaya. “Kau… lebih dari sekedar sangat parah.”
“Kan sudah kubilang aku tidak bisa!” seruku mengajukan pembelaan diri.
“Tidak usah berteriak-terika begitu, aku kan hanya memberi komentar,” katanya seraya melanjutkan acara makannya tadi.
“Sudahlah, tidak usah dimakan,” cegahku. “Aku tidak mau kau sakit. Tadi eomma sudah membuatkan jajangmyeon kesukaanmu. Kau pasti lapar, kan?”


***

Satu setengah bulan lagi berlalu. Diiringi dengan kejadian-kejadian aneh lain yang belum pernah aku alami sebelumnya. Periksa kandungan secara rutin, USG (anak kami laki-laki), serta belanja perlengkapan bayi. Aku juga sudah mulai terbiasa dengan kehadiran para wartawan yang begitu menggebu-gebu untuk mendapatkan berita.
Sekarang… hmmmmfh… Aaaaargh!!! 15 menit lagi aku akan melahirkan! Astaga, aku benar-benar gugup! Ya Tuhan, bagaimana mungkin aku menjalani ini semua? Hal yang peling kutakuti di atas dunia ini adalah jarum suntik dan darah! Mereka membuatku mual!
“Tenanglah, Hye-Na~ya,” ujar Kyuhyun seraya menyeka keringat yang mengalir di keningku dengan tisu. Tangan kirinya menggenggam erat tanganku.
“Tenang, tenang! Coba kalau kau yang melahirkan!” semprotku.
Aku melihatnya tersenyum maklum.
“Aku sudah belajar kesabaran. Kuharap sebentar lagi aku bisa lulus dengan nilai memuaskan,” gumamnya di telingaku, bertepatan dengan saat dokterku memasuki ruangan.
“Oke, waktunya sudah tiba, Nyonya Cho. Kalau bisa Anda harus mengejan sekuat tenaga, bagaimana? Anda sudah siap?”
Aku mengangguk, merasakan genggaman tangan Kyuhyun yang semakin menguat.
“Berusahalah,” bisiknya.
Tidak usah kuceritakan saja bagaimana sakitnya penderitaan itu. Bahkan melebihi berkali-kali lipat daripada apa yang pernah kubayangkan. Yang membuatku bertahan hanyalah keberadaan Kyuhyun di sampingku, dan bahwa aku sedang menyabung nyawa untuk melahirkan anak kami, bukti sah bahwa aku mencintainya….

***

Berbulan-bulan aku memimpikan saat-saat ini. Saat dimana Kyuhyun menyerahkan anak kami ke tanganku. Saat dimana aku menggendong anak itu. Dia tampan sekali. Dan anehnya, walaupun dia memiliki bentuk hidung dan bibir sepertiku, hal itu sama sekali tidak memperburuk tampilannya, tapi malah menyempurnakan wajahnya yang sudah sempurna.
“Namanya siapa?” tanyaku pada Kyuhyun.
“Kau mau aku yang memberi nama?” Dia menatapku tak percaya.
Aku mengangguk.
“Bagaimana kalau… Jino? Cho Jinho?”
“Bagus. Aku suka. Itu saja.”
Dia mengelus kepalaku, menatap anak kami yang sedang tertidur pulas dalam gendonganku.
“Terima kasih, Hye-Na~ya…” bisiknya, mengabulkan seluruh mimpi burukku. Menghempaskanku kembali ke bumi. Waktunya sudah tiba….

***

Beberapa bulan terakhir aku memikirkan banyak hal. Alasan utamanya menikahiku hanyalah untuk mendapatkan keturunan yang akan meneruskan perusahannya kelak. Dan dia sudah mendapatkannya sekarang. Ditambah kata-kata terima kasih darinya tadi membuatku semakin yakin hidup bahagiaku berakhir sudah. Dia tidak membutuhkanku lagi….

***

KYUHYUN’S POV

Dua minggu kemudian…

“Kyuhyun~a, cepat pulang! Hye-Na hilang dan tiba-tiba saja ada surat aneh yang datang!” seru eommaku saat aku baru saja mengangkat telepon.
“Hilang? Surat? Surat apa?” tanyaku panik.
“Surat cerai.”

***

Aku meremas surat sialan itu sampai hancur. Apa-apaan ini? Cerai? Apa yang ada di otak yeoja itu?
“Eomma tidak tahu dia dimana?”
Eommaku menggeleng, sibuk menenangkan Jino yang dari tadi menangis.
Aku meraih HP-ku, mencoba menghubungi appa Hye-Na. terdengar nada sambung di seberang sana dan sesaat kemudian suara appanya menjawab.
“Appa, apa Hye-Na ada disana?”

***

HYE-NA’S POV

Aku berjalan gontai di sepanjang trotoar menuju rumahku. Otakku rasanya hampir meledak saking stressnya. Aku baru saja mengambil keputusan terbesar sekaligus terburuk dalam hidupku. Yang berakibat pada kematian seluruh syarafku. Kalau ada manusia yang seperti mayat hidup, akulah orangnya.
Aku mendorong pintu pagar sampai terbuka. Melihat mobil Ferrari hitam terparkir di halaman rumahku membuatku refleks melangkah mundur keluar pagar. Tapi belum sempat aku mencapai pagar, aku mendenagr suara dingin yang menghentikanku. Setajam silet walaupun masih terdengar tenang dan terkontrol. Aku terpaku, dia belum pernah berbicara dengan nada seperti itu padaku.
“Jangan jadi pengecut, Hye-Na.”
Aku berbalik, mendapatinya sedang bersandar di bagian belakang mobilnya. Dan yang membuatku syok adalah dia merokok. Tampangnya tampak acak-acakan walaupun masih lebih tampan daripada namja manapun yang pernah kulihat.
Dia membuang rokoknya ke tanah, menginjaknya sampai hancur. Lalu dia melaangkah ke arahku, mencengkeram tanganku dengan kasar, menarikku masuk ke dalam rumah.
Appaku sedang di luar negeri dan aku pikir tidak ada yang bisa menyelamatkanku dari amukannya. Dia benar-benar terlihat hampir meledak sekarang saking murkanya.
Dia membanting pintu sampai tertutup, mendorongku sampai tersudut ke dinding.
“Apa yang kau lakukan?” bentaknya.
“Cerai,” jawabku, berusaha mengumpulkan keberanian.
“Wae?” tanyanya dengan suara bergetar menahan marah.
“Kau kan menikahiku hanya untuk mendapatkan keturunan. Aku sudah memberikannya, jadi kau bisa menceraikanku sekarang.”
Dia mencengkeram bahuku lebih kuat, membuatku meringis kesakitan.
“Brengsek, aku mencintaimu! Tak tahukah kau?”
Aku terhenyak kaget, mencoba menyerap ucapannya barusan.
“Persetan dengan perasaanmu padaku! Aku tidak peduli kalau kau menjalin hubungan dengan namja manapun di dunia ini, tapi tolong jangan memperlakukanku seperti ini! Tolong bertahanlah! Tidak apa-apa kalau aku harus hidup walaupun setiap hari kau menyakitiku, itu jauh lebih baik daripada hidup tanpamu. Aku butuh eksistensimu untuk bernafas, Na~ya….”

***

Aku terlalu kalut untuk mendengar semua pengakuannya. Coba pikir, bagaimana mungkin namja sesempurna ini mencintaiku? Kalau ini lelucon, semuanya benar-benar sudah kelewatan.
“Aku terbiasa denganmu itu benar. Takut kau pergi juga benar. Aku terobsesi padamu, itu bisa kupertanggungjawabkan, jadi tolong, berusahalah untuk mencintaiku. Aku bisa memberimu waktu seumur hidup kalau perlu.”
Aku jatuh terduduk di lantai. Membenamkan wajahku ke atas lutut. Dia memintaku untuk belajar mencintainya? Yang benar saja! Ini bahkan sudah melampaui tahap tergila-gila!

***

KYUHYUN’S POV

Aku memandangi tubuhnya yang terpuruk di lantai. Apa susah sekali baginya untuk belajar mencintaiku? Untuk mencoba bertahan di sisiku? Tapi tentu saja, dengan segala keegoisanku, aku tidak sanggup melepaskannya…. Aku bisa hidup tanpa dia, mungkin aku akan jadi setengah gila kalau itu terjadi, tapi aku tidak mau hidup tanpa dia, karena aku tahu bagaimana akibatnya untukku.
Aku berlutut di hadapannya, menarik tubuh yang rapuh itu ke dalam pelukanku. Aku bisa mendengarnya menangis terisak-isak, tidak beraksi apa-apa terhadap perlakuanku.
“Kau tidak bisa?” tanyaku, menghabiskan tenaga untuk menabahkan diri kalau dia menolakku, walaupun tahu itu sia-sia saja. Aku akan hancur kalau itu sampai terjadi.
“Kau tidak mungkin mencintaiku,” ujarnya dengan suara teredam karena dia membenamkan wajahnya di dadaku.
Aku membalas ucapannya dengan sebuah tawa frustasi.
“Tidak mungkin mencintaimu, hah?” ulangku. “Oh, jadi kau gadis seperti itu, yang harus diberi tahu dulu baru bisa mengerti? Bukankah aku sudah menunjukkannnya dengan begitu gambling padamu? Kau tidak bisa melihatnya?”
Dia menggeleng, mengangkat wajahnya untuk menatapku. Matanya basah, emmbuat egoku terusik. Namja macam apa yang berani membuat gadis yang dicintainya menangis seperti ini?
“Meminta cerai padamu, itu bunuh diri sebenarnya,” katanya. Dia menatap mataku lurus-lurus. “Aku hampir mati karena mencintaimu, tak tahukah kau?”

***

Gadis yang ada di pelukanku ini mencintaiku? Gadis yang bersinar-sinar begitu mempesona ini mencintaiku?
“Kukira ucapan terima kasihmu setelah aku melahirkan itu adalah ucapan perpisahan. Rasa terima kasih karena aku sudha memberimu keturunan dan kau sudah tidak membutuhkan aku laagi di sisimu. Aku tahu suatu saat nanti itu akan terjadi, mengira aku mungkin sudah siap sekaligus tahu bahwa aku tidak akan pernah mungkin bisa siap untuk meninggalkanmu.”
“Ucapan perpisahan?” potongku. “Itu adalah ucapan terima kasih karena kau bersedia mempertaruhkan nyawa untuk anak kita, Na~ya.”
“Aku setiap hari dilanda ketakutan bahwa kau akan meninggalkan aku. Tersiksa sendiri dengan cintaku. Merasa bahwa kau tidak pernah peduli. Aku terus-terusan mencintaimu, sedangakan….”
Aku menyela ucapannya dnegan satu ciuman yang panjang dan dalam. Menyalurkan kelegaan yang menguar dari hatiku. Bahwa dia juga mencintaiku… tersiksa karena takut kehilanganku…. Sebuah kesalahpahaman yang manis….

***

Malam kedua ini bahkan jauh lebih sempurna daripada malam pertama yang dulu. aku bebas mengapresiasinya sekarang, tanpa takut adanya penolakan.
Sinar rembulan yang masuk lewat jendela kamar membuat wajahnya bercahaya menyilaukan. Sudahkah aku bilang bahwa istriku ini cantik sekali?
Dia tertidur pulas. Menarik nafas dengan teratur. Sedangakan aku hanya mengamatinya. Bahkan mungkin aku bisa bilang bahwa aku tidak akan pernah bosan menontonnya tidur seumur hidupku….

***

HYE-NA’S POV

Aku membuka mataku dan langsung mendapati wajahnya berada hanya beberapa senti di depanku. Aku jadi heran, kenapa Tuhan menghabiskan waktu membuat wajah jelek jika Dia dengan sebegitu mudahnya bisa menciptakan sesuatu seindah ini?
“Kau mau kemana?” tanyanya dengan suara serak sambil emnarik pinggangku lagi ke arahnya saat aku bermaksud turun dari tempat tidur.
Oh, gila! Sentuhannya di kulitku membuat kekacauan sistem syaraf dan pembuluh darah dalam tubuhku.
“Jino. Aku merindukannya.”
Refleks dia tersenyum ke arahku, membebaskanku dari dekapannya, yang jujur saja sangat sulit untuk dilakukan.
Dia mengernyit heran saat aku tetap juga tidak bergerak turun dari tempat tidur.
“Apa?” tanyanya tidak paham.
“Aku tidak pakai apa-apa, Cho Kyuhyun!” seruku tertahan, merasa malu. “Setidaknya cobalah untuk berbalik atau tutup matamu!” sergahku
“Oh, yang benar saja!” ejeknya. “Aku kan sudah lihat semua.”
“Itu beda! Tadi malam kan gelap!” protesku tak mau kalah.
“Aish, ara, ara.”
Dia berbalik ke dinding sehingga aku bisa langsung meraih baju dari dalam lemari lalu berlari masuk ke kamar mandi. Benar-benar pagi yang sinting!

***

Aku tersenyum menatap Jino yang menggapai-gapai ke arahku, berusaha lepas dari gendongan eomma. Aku meraihnaya dan dia langsung menatapku dengan antusias, mengeluarkan senyum lucunya.
“Dia rewel terus. Tidak mau makan dari kemarin. Minum susu pun susah,” jelas eomma.
“Maaf,” ucapku yang dibalas dengan kibasan tangan eomma.
“Sudahlah, lupakan saja! Yang penting kau sudah pulang sekarang!”
Aku mengangguk, membawa Jino ke atas untuk menyusuinya. Tadi setelah mengantarku, Kyuhyun langsung pergi lagi karena ada konser. Dia sibuk sekali akhir-akhir ini, sepertinya penjualan album barunya melonjak naik.
Sekitar dua puluh menit kemudian, saat Jino sudah tertidur pulas, HP-ku berbunyi. Nomornya tidak kukenal.
“Yeoboseyo?”
“Hye-Na~ya, bisa kita bertemu?”
Tidak mungkin salah lagi. Suara selembut itu pasti suara Eun-Ji.
“Tennag saja, aku sedang tidak bernafsu membunuh.”

TBC

Tidak ada komentar:

Posting Komentar