Senin, 24 Januari 2011

[FFSuju/PG15/Copy+Paste/Chapter] Death kiss Part 3

Source : Sapphireblueoceanforsuju



HYE-NA’S POV

Aku bangun terlambat keesokan paginya. Terlalu sibuk menghayal sampai aku tidak bisa memejamkan mata.
Aku datang tepat lima menit sebelum bel masuk berbunyi, bergabung dengan kerumunan murid-murid lain yang juga baru datang, saat tiba-tiba saja dia muncul di hadapanku entah dari mana.
Dia nyengir menatapku dan mulai mengacak-acak rambutnya seperti biasa. Dia berjongkok di depanku dan tangannya dengan cekatan mengikatkan tali sepatu ketsku yang terlepas, diiringi tatapan murid-murid yang dengan senang hati menghentikan langkah mereka untuk memperhatikan kami berdua.
“Lain kali ikat yang kuat. Kalau kau jatuh bagaimana?” tanyanya lembut.
Aku hanya bisa terperangah menatapnya, menurut saja saat dia menggenggam tanganku dan menarikku ke dalam kelas, bertepatan dengan bel yang berbunyi nyaring.
Aku duduk di sebelahnya, tak peduli dengan wajah tololku yang menatapnya kagum.
“Kita pacaran, kan?” tanyaku memastikan.
Dia mengangguk.
“Sudah boleh melakukan apa saja, kan?”
“Mungkin,” ujarnya waspada.
“Tenang saja, tuntutanku yang pertama masih berlaku, sayang saja sekarang belum tanggal 15. Aku hanya ingin kau berjanji bahwa tidak ada wanita lain selain aku. Aku kan jelek, jadi semua gadis disini menungguku melakukan kesalahan yang cukup besar agar kau mencampakkanku. Aku tahu ini kedengarannya egois, tapi aku baru sekali ini jatuh cinta, terperosok dalam pula, jadi belum siap terluka,” ucapku malu.
“Siapa bilang kau jelek?” tanyanya, membuatku lagi-lagi tertunduk malu.
“Bagiku Na~ya, kau adalah karya Tuhan yang paling indah. Bukankah manusia adalah ciptaan Tuhan yang paling sempurna? Lagipula, sebesar apapun kesalahan yang mungkin akan kau perbuat, tidak ada cukup cara untuk membuatku meninggalkanmu. Jadi tenang saja, tidak ada gadis yang cukup menarik di atas dunia ini untuk membuatku berpaling.”
Lagi-lagi dia tersenyum, menenangkan hatiku.
“Tarik nafas, Na~ya,” bisiknya. Harum nafasnya membelai-belai wajahku.
Oh, sial! Lagi-lagi aku lupa bagaimana tepatnya paru-paruku harus bekerja memompa udara.
Pembicaraan kami terputus karena guru Kimia sudah masuk, membuatku mempunyai banyak waktu untuk memutar ulang percakapan kami tadi di dalam benakku. Aku masih memikirkan kemungkinan bahwa pacarku ini buta. Aku cantik? Hah, yang benar saja!

***

KYUHYUN’S POV

Aku senang saat melihatnya terkagum-kagum menatap rumahku. Aku memang tidak main-main untuk menentukan pilihan yang tepat menyangkut tempat dimana aku tinggal. Rumahku hanya satu lantai, tapi mempunyai taman yang sangat luas. Di halaman rumahku mengalir sebuah sungai kecil dan di atasnya ada jembatan yang terhubung dengan pintu masuk rumah. Rumahku sengaja dibuat memiliki jendela-jendela besar sehingga sinar matahari bisa masuk dengan bebas. Sekali lihat aku langsung tahu bahwa aku menyukai rumah ini dan langsung membelinya tanpa memikirkan harga.
“Kau suka?” bisikku di telinganya, seolah-olah bertanya bagaimana pendapatnya tentang rumah baru yang akan kami tempati berdua setelah menikah nanti.
Dia mengangguk antusias. Aku menuntunnya melewati jembatan dan membukakan pintu untuknya.
Dia lebih terkagum-kagum lagi melihat interior rumahku yang didominasi warna hitam dan putih. Dinding luar rumahku sendiri berwarna abu-abu. Ruangan tempatku bersantai dicat putih, biru, dan hijau, sehingga terkesan menenangkan.
“Selera yang bagus, oppa,” komentarnya.
“Gomaweo.”
Dia duduk di atas sofa. Aku berkonsentrasi melihatnya. Dia meniru jelmaan dewi-dewi Yunani dengan sempurna. Membuat ruangan ini berkilauan.
“Oh, kau benar-benar bukan vampire!” serunya sambil mengangguk-angguk, saat melihat bungkus-bungkus makanan di atas meja.
“Tentu saja bukan!”
“Kau makan,” ujarnya kagum. “Makanan manusia,” lanjutnya lagi.
“Kalau aku tidak makan, aku bisa mati kelaparan,” jelasku.
“Masa kau bisa mati hanya gara-gara itu?” tukasnya tak percaya.
“Tidak juga,” ucapku menyetujuinya.
“Aku tidak memperhatikannya selama ini. Tentu saja kau makan. Setiap istirahat kau kan bersamaku. Tapi tentu saja, wajahmu merusak sistem kerja otakku, bukan hal aneh kalau aku tidak memperhatikan hal lain.”
Oh, terima kasih kepada orang tua yang telah memberikan gen terbaik mereka untuk kesempurnaan wajahku.
“Tapi….” Dia terdiam.
“Apa?” tanyaku penasaran.
“Aku tidak pernah melihat Ji-Yoo makan.”
Aku hamper meledak tertawa mendengar ucapannya yang begitu polos.
“Dia tidak punya usus, Na~ya,” ujarku geli.
“Jadi kau tidak bisa makan kalau tidak punya usus?”
“Tentu saja tidak. Bisa-bisa makanan yang kau makan keluar begitu saja dari…. Kau tahu maksudku. Dan teronggok menjijikkan di atas kursimu,” ujarku dengan nada minta maaf, takut kata-kataku tadi membuatnya jijik.
“Tidak usah dipikirkan,” katanya santai.
Dia membaringkan tubuhnya ke atas sofaku dengan nyaman, seolah-olah dia sudah terbiasa melakukannya setiap hari.
“Keberatan tidak kalau aku tidur sebentar?” tanyanya meminta izin.
“Silahkan.”
Dia mengatupkan kelopak matanya dan tidak lama kemudian dia sudah jatuh tertidur. Wajahnya begitu polos dan… apakah aku boleh mengatakan bahwa dia begitu menggoda?
Astaga, semoga Tuhan melarangku melakukan hal yang tidak-tidak agar aku tidak tergerak menghabisi nyawanya. Godaannya begitu besar soalnya….

***

HYE-NA’S POV

Aku benar-benar lelah setelah kehilangan begitu banyak waktu tidurku untuk memikirkannya. Lagipula mataku harus diistirahatkan dari pemandangan indah itu selama beberapa saat. Ketampanannya benar-benar berlebihan, kalau tidak bisa dibilang keterlaluan.
Aku tidak tahu sudah berapa lama aku tertidur karena aku terbangun saat merasakan sesuatu yang harum berhembus di wajahku. Rasanya benar-benar nyaman.
Aku membuka mata dan tercekat saat mendapatinya berbaring di atas tubuhku. Tangannya mengusap-usap rambutku lembut, sedangkan matanya menatapku dengan intens. Membuatku jengah.
“Apa aku membuatmu terbangun?” tanyanya cemas.
Aku menggeleng, berkonsentrasi menatap kesempurnannya, mumpung dia tidak keberatan dengan posisi kami yang….
Sepertinya dia berubah pikiran karena mendadak dia bergerak untuk member jarak dengan tubuhku, untung saja aku dengan cepat menahannya.
“Jebal,” pintaku, lalu dia berbaring tak bergerak lagi di atas tubuhku, walaupun tidak sesantai sebelumnya.
“Oh, seharusnya aku tak melakukan ini,” gumamnya.
“Sudah berapa lama aku tertidur?” tanyaku berusaha mengalihkan perhatiannya.
Dia membenamkan wajahnya ke rambutku, menghirrup aromanya dalam-dalam.
“35 menit,”katanya.
Aku menatap ruangan tempat kami berbaring sekarang dari balik bahunya.
“Ini dimana?”
“Kamarku,” jawabnya.
Kamarnya benar-benar besar. Dindingnya dicat seperti papan catur. Semua barangnya tertata rapi. Aku jadi malu saat membandingkannya dengan kamarku yang berantakan.
Konsentrasiku mulai pecah saat bibirnya menyentuh keningku dan bergerak menyusuri pipiku dengan perlahan. Sepertinya dia bangga sekali dengan kemampuannya membuat wajahku merona merah. Darahku berdesir cepat dan jantungku mulai berusaha meloncat keluar dari rongganya.
“Tak bisa membayangkan bagaimana aku bisa mencuri jantung ini darimu. Aku suka sekali mendengar detaknya.” Bibirnya berbisik di telingaku, membuatku bergidik geli.
“Oh, aku lebih suka membayangkan jantungku akan berdetak di dadamu,” ujarku.
Dia menghentikan ciuman-ciumannnya dan mendongak menatapku.
“Gadis bodoh!” gumamnya sambil nyengir.
“Bolehkah aku menyentuhmu?” pintaku dengan nada memohon.
Dia tampak berpikir sesaat sebelum akhirnya mengangguk, memutuskan bahwa itu tidak akan begitu berbahaya baginya.
Aku menjulurkan tanganku, menyentuh rambutnya, keningnya, pipinya, dan bibirnya. Dia terkesiap tapi tidak melakukan apa-apa untuk menghentikanku. Aku meraih tangannya dan mengecupnya pelan, menghirup aroma tubuhnya yang begitu harum, mengalahkan bau parfum manusia.
Dan tiba-tiba saja dia berguling ke samping, berbaring di sebelahku. Dia berbaring menyamping ke arahku, menopang kepalanya dengan siku.
“Aku bukan Edward Cullen yang mempunyai pengendalian diri begitu tinggi, Na~ya,” katanya sambil memandangku dengan tatapannya yang mempesona.
Aku baru bertanya-tanya dalam hati kenapa dia tidak bosan-bosannya menatapku seperti itu. Aku saja hanya melirik wajahku sekilas di cermin setiap akan pergi sekolah, berharap tidak lama-lama meratapi keburukan rupaku.
“Kenapa kau tidak bisa mencoba berhenti berpikir bahwa wajahmu itu begitu jelek? Aku harus menjelaskan seperti apa agar kau mengerti bahwa kau begitu indah?” keluhnya.
“Kau bilang kau tidak bisa membaca pikiran!” protesku.
“Oh, tentu saja! Aku hanya membaca raut wajahmu.”
“Tapi bagaimana bisa?”
“Kau benar-benar terlihat jijik pada dirimu sendiri. Itu terlihat sangat jelas, Na~ya!” ujarnya, merapikan rambutku yang berantakan dengan lembut.
“Kenapa kau mencintaiku?” bisikku.
“Tidak tahu,” ujarnya enteng. Melihat wajahku yang tidak puas dia melanjutkan, “Karena kau membuatku sinting kurasa.”
“Sinting?”
“yah, kau tahu bagaimana rasanya. Memangnya kau tidak sinting karena pesonaku?” godanya.
“Sialan kau! Dasar tukang pamer!” geramku.
Kami terdiam beberapa saat. Sibuk mengagumi pasangan masing-masing.
“Akhir pekan kau ada acara?” tanyanya memecah kesunyian.
Aku menggeleng.
“Baguslah. Aku ingin mengajakmu ke suatu tempat.”
“Ini ajakan kencan?” tanyaku antusias.
“Tidak juga. Aku hanya ingin mempertemukanmu dengan seseorang.”
“Siapa?”
“Orang yang paling penting bagiku. Selain kau tentunya,” ujarnya penuh rahasia.

***

Tak terasa sudah lewat seminggu sejak Kyuhyun memporak-porandakan hidupku dengan pesonanya. Rasanya begitu cepat, sedangkan aku belum puas memilikinya.
Guru kesenianku, Park songsaengnim, lagi-lagi mengambil nilai. Tapi kali ini bukan bidang yang aku sukai. Dia akan mengetes kemampuan vokal kami, membuatku mendelik marah menatapnya.
Harus kuakui, suaraku akan membuat orang tuli seketika. Tidak ada bagus-bagusnya. Dan sialnya, aku mendapat giliran kedua.
“Han Hye-Na!” Suara menyebalkan itu memanggilku.
Aku melangkah maju dan berdiri di depan kelas dengan gugup. Harus kau tahu, aku punya krisis kepercayaan diri. Aku berusaha untuk tidak menatap Kyuhyun, agar konsentrasiku tidak buyar. Tapi tetap saja aku tahu dia menatapku dengan penuh minat.
Aku memutuskan untuk menyaanyikan lagu Ryeowook feat. Beige, When Falling In Love With Friend. Aku sangat menyukai lagu itu. Dan sepertinya semuanya lancer-lancar saja. Kyuhyun tersenyum padaku saat aku menghempaskan tubuhku ke atas kursi di sampingnya.
“When Falling In Love With Friend?” gumamnya sambil menatapku.
Aku mengangguk dan lagi-lagi dia membuatku tertawan dengan senyumannya.
“Aku menyukai lagu itu, terutama suaramu,” ujarnya sambil bangkit berdiri mendengar namanya dipanggil.
“Cho Kyuhyun!”
Kyuhyun mengambil gitar di pojok kelas dan duduk di atas kursi yang disediakan. Semua murid menatapnya terpesona.
“Untuk gadis tercantik yang pernah hidup di dunia dan entah kenapa selalu berhasil membuatku tak terkendali,” ucapnya seraya menatapku tepat di manik mata.
Dia mulai memainkan melodi di gitarnya, tapi aku belum pernah mendengar irama seindah itu. Aku belum pernah mendengarnya menyanyi sebelumnya dan beberapa saat kemudian barulah aku sadar bahwa suaranya adalah hal terindah yang pernah aku dengar seumur hidupku.

Kau bukan wanita idaman siapa-siapa
Kau bukan wanita cantik yang bisa menarik perhatian setiap laki-laki di dunia
Kau wanita yang tidak menyadari wujud dari keindahan
Kau wanita yang selalu marah-marah tanpa alasan
Kau wanita yang berbicara terlalu cepat sampai aku tidak bisa memahami satupun perkataan
Tapi kau memiliki senyuman yang dapat meluluh-lantakkan detak jantungku di setiap masa
Kau wanita yang selalu sabar menungguku dalam kelelahan raga
Kau menatapku dengan tatapan yang membuat cinta
Kau wanitaku, benda tercantik di jagad raya….

Dia menuntaskan lagunya dengan melodi penutup yang indah. Semua orang tidak bisa bersuara saking terpananya. Dan baru beberapa detik kemudian mereka tersadar dan member tepuk tangan yang meriah.
“Lagu yang bagus, Kyuhyun~a!” seru Park songsaengnim sambil bertepuk tangan keras-keras. “Ciptaan sendiri?” tanyanya.
Kyuhyun mengangguk lalu kembali duduk. Dengan mulut ternganga aku menatapnya. Tak peduli setolol apapun mukaku sendiri.
“Bagus tidak?” tanyanya menunggu pendapatku.
“Seperti kau tidak tahu saja semua orang terpesona menatapmu.”
“Aku tidak peduli pendapat orang lain. Yang kubutuhkan adalah pendapatmu.”
“Aku tak pernah mendengar lagu seindah itu sebelumnya,” akuku. “Lagu itu untukku?”
Dia mengangguk antusias.
“Apa aku bicara terlalu cepat sampai kau tidak bisa memahami satu pun ucapanku?”
“Kadang-kadang. Tapi aku mengerti, karena aku menyimak dengan hati, bukan telinga.”
Aku tersenyum mendengar ucapannya. Dia selalu saja…. Sepertinya aku harus mulai menghafal isi kamus untuk menguasai lebih banyak kosakata.
“Apa judulnya?”
“Benda hidup tercantik di jagad raya.”
“Bisakah kau tidak terus-terusan menyanjungku?”
“Itu belum seberapa, Na~ya. Aku saja sudah begitu kesulitan untuk mengungkapkan keindahanmu. Kau manusia yang terlalu luar biasa, asal kau tahu saja.”
Ya Tuhan, dia benar-benar sudah tidak waras!

***

Aku sedang menyuap ramyeon ke dalam mulut saat tersadar akan sesuatu.
“Mana Ji-Yoo? Sudah 3 hari dia tidak masuk sekolah,” tanyaku. Aku baru ingat, karena beberapa hari terakhir ini aku terlalu sibuk terkejut dengan semua tindakan Kyuhyun.
“Dia sedang… mencari the sweetest rose-nya.”
“Dia sudah menemukannya?”
“Kurasa sudah.”
“Lalu kenapa dia masih bolos sekolah?”
“Jalan-jalan menurutku. Dia suka sekali muncul secara tiba-tiba di rumah artis yang disukainya. Kemarin lusa dia muncul di rumah Lee Min-Ho.”
Aku tertawa mendengar ucapannya.
“Besok kita kemana, oppa?”
“Busan. Besok aku akan menjemputmu sekitar jam 9. Ayahmu sudah ada di rumah?”
Aku mengangguk.
“Kau tidak berniat mengenalkanku padanya?” Nada suaranya terdengar penuh harap.
“Oh, baiklah,” putusku.
“Sebagai pacar?” tanyanya, terdengar senang sekarang.
Aku mengangguk.
“Gomaweoyo.”

***

“Appa,” panggilku sambil duduk di samping pria berumur setengah abad itu. Aku mengecup pipinya pelan, membuatnya menoleh menatapku heran.
“Kau kenapa? Aneh sekali.”
Aku tersenyum untuk pertama kalinya padanya setelah 11 tahun, membuatnya terperangah menatapku.
“Kau tersenyum?” serunya sambil mengacak-acak rambutku. Aku mengangguk.
“Siapa?” tanyanya senang.
Aku mengerutkan kening, menatapnya heran. Kemudian barulah aku memahami apa maksud ucapannya.
“Dia murid baru di sekolahku, appa. Namanya Kyuhyun. Cho Kyuhyun,” ucapku malu.
“Kapan kau akan membawanya kesini? Aku harus bertemu dengan pria yang sudah membuat anakku tersenyum.”
“Besok, appa. Dia ingin mengajakku jalan-jalan dan memaksa untuk mendapat izin darimu.”
“Bagus, bagus! Jam berapa?”
“Jam 9.”

***

Aku bangun pagi-pagi sekali keesokan harinya. Sedikit gugup, sibuk bertanya-tanya dalam hati kemana Kyuhyun tepatnya akan membawaku.
Lagi-lagi aku membongkar lemariku, berharap menemukan sesuatu yang pantas untuk aku kenakan. Hanya ada jeans dan kaos.
Putus asa, aku menarik tank-top hitam dari gantungan dan memadukannya dengan cardigan putih. Sebaiknya hari Minggu depan aku belanja besar-besaran. Aku tidak mau tampil memalukan lagi di depan Kyuhyun.
Aku sedang menguncir rambutku saat bel pintu berbunyi. Tergesa-gesa aku berlari turun, melirik jam sesaat. Masih jam 8, pikirku.
Aku membuka pintu depan dan seketika mendapati pemandangan terindah di dunia di depan pelupuk mataku.
“Hai,” seruku terengah-engah.
Kyuhyun tersenyum, seperti biasa, mengacak-acak rambutnya lagi.
“Maaf, rasanya lama sekali kalau harus menunggu jam 9. Aku sudah tidak sabar ingin bertemu denganmu,” ujarnya sambil menyentuh pipiku.
Aku menunduk malu. Dia selalu saja seperti itu.
“Kau cantik sekali, Na~ya. Seperti pelangi.”
Aku tidak tahu lagi seperti apa rupaku sekarang. Rasanya pipiku sudah semerah kepiting rebus.
“Masuk, oppa?”
“Ayahmu?”
“Biar kupanggilkan,” kataku sambil menyingkir agar dia bisa lewat. Aku meninggalkannya sebentar. Pergi menemui ayahku.
“Ayah!” panggilku, berlari masuk ke kamarnya. Beliau sedang duduk di samping jendela, melakukan kegiatan kesukaaannya, membaca.
Dia menoleh ke arahku lalu tersenyum.
“Dia sudah datang?” tanyanya kemudian. Aku mengangguk.
“Masih jam 8. Sepertinya dia sudah tidak sabar lagi ingin bertemu denganmu,” guraunya, membuatku tertunduk malu.
“Tadi dia juga bilang begitu padaku,” gumamku.
Kami berdua menemui Kyuhyun di ruang tamu. Aku memperhatikan raut muka ayahku saat melihat Kyuhyun. Sepertinya beliau menyukainya.
“Selamat pagi, anak muda!” sapa ayahku.
Kyuhyun mengangguk sopan lalu menjabat tangan ayahku. Aku membiarkan mereka berdua berbicara panjang lebar. Kelihatan sekali kalau ayahku menyukai pengetahuan Kyuhyun yang luas. Baguslah, jadi aku tidak perlu sembunyi-sembunyi pacaran dengannya.
“Kalian akan pergi kemana pagi ini?”
“Ke rumah orang tua saya di Busan. Itu kalau Anda mengizinkan. Saya janji akan mengembalikan Hye-Na sebelum malam.”
“Boleh, tentu saja boleh.”
Ayahku mengangguk senang lalu menoleh ke arahku.
“Bisa kita bicara sebentaar, Hye-Na?” tanyanya.
Aku mengangguk, mengikutinya ke kamar. Sial, jangan-jangan ayahku tidak menyukai Kyuhyun. Bisa saja tadi itu hanya untuk menghormati perasaan Kyuhyun saja.
“Ada apa, appa?”
Beliau duduk di atas tempat tidur lalu menatapku sambil tersenyum.
“Aku tidak bilang kalau kau itu jelek, Hye-Na~ya. Aku cuma… yah, kau tahulah. Ketampanannya itu terlalu berlebihan menurutku. Tapi kufikir dia sangat tergila-gila padamu, jadi aku tidak perlu khawatir.
Aku tersenyum lebar. Huh, ayahku saja sudah tidak tahan dengan ketampanannya, jadi tidak heran kalau aku rela mati untuk menjaga eksistensi ketampanannya itu.
“Aku pamit, appa.”
Ayahku mengangguk, lalu secepat yang aku bisa aku berlari menghampiri Kyuhyun, tidak sabar ingin melihatnya lagi.
“Kita pergi sekarang?”
Kyuhyun mengangguk kemudian meraih tanganku. Hmmfh… dia ini benar-benar….

***

KYUHYUN’S POV

“Memangnya kau punya orang tua?” tanyanya tiba-tiba saat mobilku sedang melaju kencang di jalan raya.
“Tentu saja. Kau pikir bagaimana caranya aku dilahirkan? Langsung muncul tiba-tiba, begitu?” candaku.
“Tapi bukannya orang tuamu tidak bisa melihatmu?”
“Maksudku orang tua angkat.”
“Orang tua angkat?”
“Curare yang mengubahku. Dia sudah kuanggap seperti ayahku sendiri.”
“Kau tidak membencinya?”
“Tidak. Tentu saja tidak. Kau tidak tahu bagaimana dulu dia memohon ampun kepadaku setiap hari karena dia telah menjadikanku monster. Aku tidak keberatan dengan keadaanku ini sebenarnya. Semuanya kan sudah ada yang mengatur.”
“Oh, benar! Jadi merupakan takdir juga kan bahwa aku harus menyerahkan jantungku? Dan tentunya kau juga harus menerima takdir itu, oppa!”
“Bisa tidak kau berhenti membicarakan hal itu?”
“Tentu saja tidak!” serunya marah.
“Ne, arasseo. Tapi tolong jangan hari ini. Jebal?”
“Ne.”
Beberapa jam kemudian aku membelokkan mobilku ke sebuah rumah mewah di daerah perkebunan teh. Aku memarkirkan mobilku di depan pintu kemudian turun membukakan pintu mobil untuk Na~ya.
“Dia galak tidak?” Tanya gadis kesayanganku itu. Ada nada gugup dalam suaranya.
“Tidak. Tenang saja,” ujarku sambil menggenggam tangannya. Berharap dia merasa sedikit tenang.
Kami masuk ke dalam rumah itu setelah seorang pelayan membukakan pintu untuk kami. Aku membawa Na~ya ke taman belakang tempat ayahku menunggu kami.
“Appa,” sapaku sopan.
Beliau berbalik. Tersenyum menatapku lalu menoleh ke arah Na~ya.
“Yeppeo,” komentarnya.
“Neomu yeppeoyo, appa,” ralatku.
“Oh, tentu saja, dia kan belahan jantungmu.”
Aku nyengir lalu menatap Na~ya yang juga sedang menatapku penuh tanya.
“Oh, itu… maksudnya… ng… begini… menurut sebagian orang, kekasih hatinya disebut belahan jiwa atau belahan hati. Tapi menurutku kau adalah belahan jantungku. Karena tanpa hati pun seseorang masih tetap bisa hidup walaupun mungkin lebih seperti mayat hidup. Sedangkan tanpa jantungmu kau hanyalah jasad tak berguna yang sudah mati. Kesimpulannya Na~ya, tanpa kau, tak ada detakan nyawa untukku.”
Dia menatapku terperangah, seakan-akan aku ini orang gila.
“Aku serius, Na~ya,” ucapku.
Dia menunduk malu lalu mengangguk.
“Ngomong-ngomong, jangan membahas masalah curare di depan ayahku. Dia tidak ingat apa-apa,” bisikku di telinganya.
“Aigoo, sepertinya ayah jadi orang ketiga di antara kalian!” seru ayahku.
Kami berdua tertawa.
“Mianhaeyo, appa!”
“Ah, ani, gwaenchana! Bagaimana kalau kita makan? Memangnya kalian tidak lapar?”
“Kau lapar tidak?” tanyaku.
“Sedikit.”
“Ya sudah! Kajja!”
Aku menarik tangannya, membimbingnya masuk ke dalam rumah. Setelah makan kami memutuskan untuk berjalan-jalan mengelilingi kebun teh. Aku tertegun melihat matanya yang berbinar-binar senang. Bibirnya yang mungil membentuk senyuman indah saat melihat pemandangan kota yang memukau di depan kami.
“OMO, neomu yeppeoyo!” serunya sambil menatapku, membuatku mengalihkan pandangan ke arah lain.
Aku memasukkan tangan ke dalam saku agar aku tidak kehilangan kendali lalu menciumnya. Berdua saja seperti ini benar-benar membuat otakku kacau balau!
“Waeyo?” tanyanya seraya berdiri di hadapanku, menatap wajahku penasaran.
“Na… Na~ya… ng… eh… bisa tidak kau tidak terlalu dekat-dekat ke arahku?” pintaku gugup.
“Waeyo?”
“Apa kau mengerti kalau aku bilang bahwa aku ini laki-laki?”
Secercah pemahaman terlintas di wajahnya kemudian dia mengambil jarak dariku.
“Tapi aku kan tidak merayumu, oppa!” katanya heran.
“Matamu berbinar-binar dan kau tersenyum, itu membuatku sinting, kau tahu?” keluhku.
Dia tampak kaget. Masih menatapku heran.
“Masa hanya gara-gara itu saja kau bisa kehilangan kendali?”
“Kau membuatku terpesona dan hal itu sangat berbahaya. Susah sekali menahan diri untuk tidak menciummu, Na~ya.”
“Ini Minggu dan seseorang memberitahuku bahwa aku membuatnya terpesona sampai kehilangan akal! Aish, jinjja!”
“Oh, kau saja yang baru tahu.”
“Maksudmu?”
“Kau ingat malam waktu aku ke rumahmu?”
Dia mengangguk.
“Kalau aku membiarkanmu menyentuhku waktu itu, aku pasti kehilangan akal sehat dan akan menciummu detik itu juga,” akuku. “Lalu waktu di rumahku. Aku membiarkanmu menyentuhku hanya untuk mengetes seberapa dahsyat dampaknya terhadapku. Ternyata lebih parah dari yang aku duga. Aku malah hamper membunuhmu kalau aku tidak segera sadar waktu itu,” lanjutku.
Dia menatapku sesaat lalu berbalik dan duduk di atas kursi besi panjang yang langsung menghadap ke arah pemandangan kota Busan yang terhampar di bawah sana, tidak sedahsyat di malam hari sebenarnya, tapi tetap saja indah.
“1 minggu lagi tanggal 15, oppa,” ujarnya.
Aku menghempaskan tubuh ke sampingnya, menyandarkan kepalaku ke sandaran kursi dan menoleh ke arahnya.
“Kau tidak harus berkorban untukku, Na~ya.”
“Tidak ada yang dikorbankan dalam hubungan ini, oppa. aku tidak pernah mengorbankan apapun. Kau juga tidak. Karena saat mencintai seseorang, apapun yang kita berikan tidak terasa seperti berkorban. Kita tidak merasa kehilangan sesuatu. Niat memberikan sesuatu untuk pasangan datang dari hati. Dari diri sendiri. Aku tidak pernah memikirkan apa yang sudah aku berikan padamu, apa yang sudah kau berikan untukku, karena aku ikhlas.”
Aku tertegun mendengar ucapannya. Kemudian aku mengulurkan tanganku untuk menyentuh pipinya.
“Apa kau ikhlas? Kau tidak merasa rugi?”
Dia menggeleng.
“Boleh aku minta sesuatu? Mungkin berat untukmu, tapi….”
“Apa saja.”
Aku menatapnya tepat di manic mata.
“Kau tahu, kalau aku berubah menjadi manusia aku akan melupakanmu?”
Dia mengangguk.
“Satu minggu itu sangat sebentar, Na~ya, dan itu artinya waktuku untuk memilikimu juga semakin sempit. Aku belum siap kehilanganmu sekarang, tak akan pernah siap sampai kapanpun, tapi aku bisa mengumpulkan waktu sebanyak yang aku bisa dan ada 3 bulan lagi untuk itu. Aku masih ingin menatap matamu, menggenggam tanganmu… mencintaimu…. Aku ingin meminimalisir rasa sakitnya, Na~ya.”
“Kau ingin menciumku tepat tengah malam di hari ulang tahunku?” tanyanya.
Aku mengangguk. Dia benar-benar cepat tanggap.
“Tapi bagaimana kalau kau berubah pikiran lalu ingkar janji di saat-saat terakhir? Aku tidak bodoh, oppa!”
Aku mengeluh dalam hati. Dia terlalu pintar dari yang kukira.
“Aku tahu apa yang kau pikirkan , oppa. saat itu kau akan mengulur-ulur waktu, meyakinkanku bahwa kau ingin bersamaku beberapa detik lagi, lalu saat jam 12 teng kau menolak melakukannya dan aku sudah tidak bisa lagi berbuat apa-apa. Oh, ada satu kemungkinan lagi sepertinya,” tuduhnya.
“Apa?” tanyaku, membatin dalam hati, seberapa pintarnya gadis ini?
“Bisa saja di hari ulang tahunku itu kau menghilang. Atau kalaupun kau masih ingin melihatku untuk terakhir kalinya, kau akan menghampiriku. Berpura-pura seolah-olah kau setuju untuk menciumku, lalu saat hamper jam 12 kau akan menghilang entah kemana dengan kemampuan silanmu itu!”
Aku mendesah. Jenius sekali dia!
“Aku tidak bisa menolerir kebohongan, oppa!”
“Baiklah, baiklah!” seruku putus asa.
Dia tersenyum, sepertinya percaya bahwa aku sudah menyerah. Oh, benar, aku tidak bisa memikirkan hal lain untuk melarikan diri sekarang.
“Ngomong-ngomong tentang hilang ingatan, benarkah kau tidak akan mengingatku lagi?”
“Mmm…” gumamku. “Apa kau berubah pikran sekarang setelah mengetahuinya?” harapku.
“Sama sekali tidak. Lebih baik kau amnesia daripada mati. Setidaknya ada kemungkinan aku akan bertemu lagi denganmu.”
Dia berhenti sesaat, dan mendadak raut mukanya berubah menjadi penuh semangat.
“Aku bisa bertemu denganmu lagi! Seperti kau bertemu dengan ayah angkatmu!” serunya.
Aku tersenyum.
“Saat kembali menjadi manusia, aku akan berumur 2 tahun. Kembali ke masa lalu. Semestinya aku sudah berumur 19 tahun sekarang. Tapi aku sangsi apakah kau bisa menemukanku.”
“Kenapa? Aku kan bisa menggunakan keahlianku sebagai curare untuk muncul di berbagai tempat yang aku inginkan.”
Mataku berkilat menatapnya.
“Kau sepertinya salah paham dengan kemampuan itu. Kau bisa muncul di sembarang tempat yang benar-benar kau ketahui alamat lengkapnya. Kau tidak bisa hanya memikirkan orang yang ingin kau temui lalu tara… kau berada di hadapannya. Kalau bisa seperti itu dalam satu hari pun aku bisa kembali menjadi manusia.”
“Aku bisa berusaha. Setidaknya masa kau tidak tahu kau tinggal dimana waktu kecil?”
“Seingatku di Seoul. Sekilas ayahku pernah menyinggungnya.”
“Nah, beres, kan? Aku tinggal mengelilingi Seoul untuk mencarimu.”
“Aku juga hanya perlu mengelilingi Busan yang lebih kecil dari Seoul untuk mencari ayah angkatku. Tapi sayangnya aku butuh waktu 8 tahun untuk itu.”
“Selama itu?” Nada suaranya mulai kedengaran putus asa.
“Kau juga harus mencari the sweetest rose-mu, kan? Dengar, lebih cepat kau menemukannya akan lebih baik.”
“Ne, arasseo…. Tapi….”
“Mwo?”
“Aku juga akan melupakanmu saat menjadi manusia. Jadi bagaimana mungkin kita bertemu lagi? Aku takut bahkan jika kau melintas di hadapanku sekalipun aku tidak bisa mengenalimu.”
Aku menyentuh pipinya dengan kedua tanganku. Menatapnya lekat-lekat.
“Kau percaya takdir, Na~ya?”
“Mungkin,” ujarnya ragu.
“Aku percaya. Kita pasti akan bertemu lagi, karena sudah ditakdirkan begitu.”
Dia masih tidak percaya aaku bisa melihat dari tatapan matanya.
“Aku sudah menemukan tulang rusukku, itu artinya kalau tidak bersamamu, aku tidak akan menjadi sempurna. Hidup tanpamu itu artinya neraka, Na~ya. Takdirku akan selalu mengarah padamu. Kalau tidak di dunia, aku akan mengejarmu sampai ke alam baka. Kalau tidak berhasil juga, aku akan menyusulmu ke surga atau meminta kita dipersatukan di neraka.”

TBC

Tidak ada komentar:

Posting Komentar