Senin, 24 Januari 2011

[FFSuju/PG15/Copy+Paste/Chapter] Death kiss Part 10 ENDING

Source : Sapphireblueoceanforsuju







HYE-NA’S POV

Aku menatap Eun-Ji yang duduk di hadapanku. Hanya dengan memakai tank-top hitam dan celana jins saja dia sudah terlihat begitu mempesona. Kemudian aku ganti menunduk, menilai diriku sendiri. Jins belel dan kaus biasa bertuliskan ‘I DON’T CARE’ kesukaanku ini sama sekali tidak bisa dibandingkan dengan dia.
Dia mengaduk lemon tea-nya sesaat lalu memutuskan untuk memulai pembicaraan denganku.
“Kau meminta cerai?” tanyanya padaku.
“Dari mana kau tahu?” selidikku.
“Temanku yang mengurus surat perceraianmu. Dan tiba-tiba dibatalkan begitu saja?”
“Kabar buruk bukan?”
“Tidak juga,” katanya seraya mengedikkan bahu. “Kalau boleh tahu apa alasannya?”
“Kukira dia tidak mencintaiku.”
“Oh!” serunya antusias. “Dan perceraian itu batal tentunya karena dia mengungkapkan perasaannya bukan?”
Aku mendelik menatapnya. Dia aneh sekali. Kenapa jadi semangat begitu? Bukankah seharusnya dia marah karena aku merebut Kyuhyun?
“Iya,” jawabku akhirnya.
“Jadi kau tidak tahu bahwa dia mencintaimu?”
Kali ini aku menggeleng.
“Kau mau dengar ceritaku tidak?”
Aku menatapnya heran lalu mengangguk.
“Eomma dan appaku ingin aku melanjutkan ssekolah keluar negeri. Tapi aku tidak mau. Entah kenapa rasanya bahagia sekali jika aku melawan mereka. Mereka sibuk sendiri dengan perusahaan, tidak pernah ada di rumah, tapi malah dengan seenaknya ingin mengatur hidupku. Maka aku bersikeras ingin melanjutkan SMA-ku disini. Pertengkaran besar, kau tahu?”
Dia menarik nafas sesaat, seakan sedang mengingat masa-masa itu lagi.
“Aku menang. Tentu saja. Setelah mengancam mereka bahwa aku akan kabur dari ruamh. Di sekolah itulah untuk pertama kalinya aku jatuh cinta. Pada Kyuhyun. Aku ingat sekali waktu itu dia begitu alergi terhadap yeoja. Hampir 50% dari seluruh yeoja di SMA itu menyukainya. Setiap hari ada saja yang menyatakan cinta padanya, wlaau akhirnya selalu ditolak dengan berbagai macam makian. Dari semuanya, akulah yang paling tebal muka, tidak henti-hentinya berusaha menarik perhatian dia.”
“Banyak dari yeoja-yeoja yang sakit hati itu mnegambil kesimpulan bahwa Kyuhyun itu gay, penyuka sesama jenis. Tapi anehnya dia juga tidak terlalu bergaul dengan anak laki-laki.”
“3 tahun setelah itu kami tamat. Aku diterima di Harvard tapi aku malah memilih sekolah fashion di Milan. Orang tuaku lagi-lagi menentang, tapi aku membuktikan pada mereka bahwa aku memang bisa, aku berbakat. Lalu setelah tamat aku mendirikan perusahaan mode di Paris.”
“Kemudian aku bertemu dengan kalian. Sekali lihat aku langsung tahu bahwa dia sangat mencintaimu, tapi kau sendiri dengan bodohnya malah tidak sadar. Aku terkejut sebenarnya saat tahu bahwa Kyuhyun bisa begitu dekat dengan seorang yeoja. Cara dia merangkulmu, tersenyum padamu, menatapmu, semuanya seperti bukan Kyuhyun.”
“Sampai kau menghilang waktu itu. Dia panik sekali. Aku belum pernah melihatnya sekacau itu. Waktu dia bertanya pada penjaga pintu, Bahasa Inggrisnya berlepotan sekali. Padahal tahukah kau Hye-Na~ya, Kyuhyun itu tipe orang yang sangat pandai mengendalikan emosinya. Orang tidak akan tahu kalau dia sedang marah, sedih, ataupun gembira. Ekspresinya selalu datar-datar saja.”
“Tidak juga. Dia selalu marah-marah padaku. Kadang-kadang dia juga sering tersenyum.”
“Itu artinya dia sudah membuka hatinya lebar-lebar padamu,” ujar Eun-Ji sambil tersenyum.
“Kau ini kenapa? Aneh sekali!” tanyaku heran.
“Aku ingin bertemu denganmu bukan untuk memberitahumu seberapa besar Kyuhyun mencintaimu, tapi aku ingin memberikan undangan. Aku akan menikah,” katanya dengan nada antusias. Dia mengambil sebuah undangan berwarna cokelat keemasan dari dalam tasnya lalu menyerahkannya padaku.
“Dia sahabatku sejak kecil. Tempat aku curhat betapa aku sangat mencintai Kyuhyun. Aku tidka bisa membayangkan betapa sakitnya dia selama ini. Sepulang dari pesta launching album Kyuhyun waktu itu aku benar-benar patah hati. Dia yang menghiburku. Lalu entah kenapa, taraaaa…. Ternyata kami sudah bertunangan!” serunya dengan wajah berbinar-binar bahagia.
“Hei, berjanjilah padaku kau akan datang bersama Kyuhyun, oke?”
Aku mengangguk, ikut merasakan kebahagiaan yang menguar darinya.
“Oh iya, kudengar anakmu namja. Kalau nanti aku hamil dan ternyata anakku yeoja, kau mau tidak menjodohkannya dengan anakku? Setidaknya kalau aku tidak bisa mendapatkan appanya, anaknya juga boleh!” guraunya, membuatku tertawa.
“Bisa diatur,” ucapku.

***

KYUHYUN’S POV

Aku lewat tengah malam dengan tubuh kelelahan, berjalan melewati ruang keluarga yang gelap. Laangkahku terhenti saat melihat tubuh Hye-Na yang sedang terbaring di atas sofa. Kuputuskan untuk menghidupkan lampu lalu menghampirinya.
“Hye-Na~ya?” panggilku seraya mengguncang-guncang tubuh gadis itu. Dia menggeliat sesaat sebelum membuka matanya.
“Hei, kau sudah pulang,” ujarnya serak sambil mengucek-ucek mata.
“Kenapa tidak tidur di dalam saja?”
“Aku menunggumu. Kau sudah makan?”
Aku menggeleng, teringat bahwa aku sama sekali tidak makan dari tadi siang.
“Ya sudah. Tadi eomma masak bulggogi. Kau pasti lapar,” katanya kemudian menarikku ke meja makan.
Dia emngambil piring lalu menyendokkan nasi untukku. Aku tersenyum dalam hati. Betapa sempurnanya hidupku sekarang. Keluargaku sudah lengkap.
“Tadi siang aku membuka internet,” ujarnya tiba-tiba. Aku menelan makananku lalu meraih gelas berisi air putih.
“Maaf, aku tidak tahu akibatnya jadi begini. Kau pasti kesusahan sekali tadi,” lanjutnya.
Aku menghela nafas pelan. Entah bagaimana para wartawan itu bisa tahu bahwa Hye-Na mengajukan cerai, padahal tuntutan itu sudah dibatalkan. Dan mereka merecokiku habis-habisan sepanjang siang. Tidak mau percaya bahwa aku tidak jadi cerai.
“Semuanya sudah beres. Tenang saja.”
Dia mengangguk pelan.
“Tadi siang aku bertemu Eun-Ji. Dia mau menikah. Dan dia ingin kita datang. Satu minggu lagi.”
“Huh, banyak sekali pasangan yang akan menikah akhir-akhir ini,” dengusku.
“Memangnya siaap lagi?”
“Kau tidak tahu? Eunhyuk dan Ji-Yoo kan juga mau menikah 2 minggu lagi. Terburu-buru sekali. Sudah tidak tahan sepertinya.”
“Hah, yang benar?” serunya tak percaya. “Masa mereka tidak memberitahuku?”
“Terlalu sibuk mengurus ini dan itu. Aku tahu juga karena Ji-yoo minta cuti.”
“Tapi setidaknya eomma kan bisa memberitahuku.”
“Eomma juga repot. Tadi dia menemani Ji-Yoo seharian, belanja perlengkapan pernikahan mereka,” jelasku.
“Pantas saja eomma dari pagi tidak kelihatan. Pulang-pulang langsung masuk kamar.”
“Sepertinya besok kau juga akan sibuk. Jaga diri, jangan terlalu diforsir. Arasseo?” nasihatku yang diikuti anggukan kepalanya.

***

HYE-NA’S POV

Aku menatap bayangan diriku di cermin. Lagi-lagi Ji-Yoo yang membantuku berdandan, sebagai balasan karena aku rela menemaninya berkeliaran kesana kemari mencari gaun pengantin.
Seperti biasa, dengan sedikit keajaiban, aku bisa terlihat cantik.
“Ternyata warna kuning itu bagus juga di tubuhmu,” ujar Kyuhyun yang tiba-tiba saja sudah muncul entah dari mana, memeluk pinggangku dari belakang. Wangi tubuhnya lagi-lagi merasukiku.
“Sepertinya sayang sekali kalau aku harus membagi kecantikanmu dnegan orang lain. Bagaimana kalau kita di rumah saja? Kita bisa melakukan hal lain,” godanya.
“Tidak, jangan macam-macam!” kecamku selagi bisa, selama aku masih dalam keadaan sadar.
Aku meloloskan diri dari dekapannya, mengambil tas jinjingku dari atas kasur lalu mendelik padanya.
“Kau mau pergi atau tidak?”

***

Kami datang tepat waktu, tapi ternyata sudah banyak undangan yang datang. Pesta pernikahannya benar-benar mewah sekali. Kelopak-kelopak bunga berserakan dimana-mana. Temanya seperti negeri dongeng. Ada Putri Salju, Cinderella, dan banyak lagi. Kalau orang yang tidak tahu pasti sudah mengira bahwa ini pesta ulang tahun anak umur tiga tahun. Tapi desainnya memang mewah dan elegan.
“Memangnya Eun-Ji itu artis? Kenapa banyak wartawan begitu?” bisikku pada Kyuhyun.
“Suaminya yang artis. Choi Siwon. Masa kau tidak tahu?”
“Aku kan jarang nonton TV.”
Para wartawan itu mulai mengerubungi kami. Bertanya ini itu tentang kasus perceraian yang kuajukan. Untung saja Kyuhyun langsung menarikku ke tempat Eun-Ji dan suaminya berdiri.
“Hai Hye-Na~ya, kau suka tidak dengan temanya? Aku sudah susah payah mendekornya, loh!” seru Eun-Ji girang saat aku sudah berdiri di hadapannya. Dia kelihatan cantik sekali dalam balutan gaun pengantinnya.
“Kreatif sekali,” pujiku.
“Yak, Kyuhyun oppa, kau pasti sennag kan terbebas dariku?” tuduhnya saat aku beralih memberi selamat pada suaminya. Dia namja yang tampan, cocok bersanding dengan kecantikan Eun-Ji yang luar biasa.
“Kenapa kau tidak membawa anakmu?” protes Eun-Ji.
“Dia sedang tidur. Eomma yang menjaganya,” jawabku.
“Kau masih ingat janji kita, kan?” godanya.
Aku tertawa lalu mengangguk, terpaksa pergi karena ada banyak orang yang juga ingin memberi selamat pada mereka berdua.
“Janji apa?” tanya Kyuhyun penasaran sambil mengikuti langkahku.
“Perjodohan anak kita. Pasti keren! Kalau anaknya yeoja kan kita bisa jadi besan. Anaknya seharusnya akan cantik sekali.”
Aku terkikik melihat wajah Kyuhyun yang melongo menatapku.

***

EUNHYUK’S POV

Setelah mengucapkan janji pernikahan pagi tadi, mala mini aku dan Ji-Yoo harus menjalani resepsi sialan ini! Yang benar saja, masa aku harus pakai jas sepanjang hari! Aku tidak peduli jas ini merk Armani atau apa, aku bersumpah akan segera membuangnya ke tong sampah setelah resepsi ini, membuatku gerah saja!
Tapi ada sedikit hiburan. Ji-Yoo cantik sekali mala mini. Oh, aku tahu dia dasarnya memang sudah cantik dan malam ini dia bertambah cantik seribu kali lipat.
Dia tersenyum gugup padaku, memegangi lenganku erat-erat. Aku menepuk punggung tangannya pelan, menenangkan. Dia ini aneh sekali, tadi waktu mengucapkan janji pernikahan dia sama sekali tidak gugup, eh sekarang malah seperti cacing kepanasan.
Hye-Na tergopoh-gopoh mendatangi kami seraya menggendong Jino. Dia juga tampak cantik. Aku sudah mulai bisa menganggapnya sebagai kakak ipar sekarang, dibantu oleh yeoja luar biasa di sampingku ini.
“Aku mau memberi selamat pada kalian sebelum para tamu tambah banyak. Huh, Cho Kyuhyun sialan itu malah menghilang entah kemana. Ah, biarkan saja!” cerocosnya lalu memeluk Ji-Yoo kemudian ganti menepuk lenganku pelan.
“Jaga Ji-Yoo baik-baik. Arasseo?”
Aku mengangguk. Jino menggapai-gapai ke arahku sehingga aku tidak tahan untuk mencubit pipinya yang menggemaskan.
“Jino~ya, tidak boleh! Ajjushi sedang jadi pengantin sekarang, dia tidak bisa menggendongmu. Nanti kau malah mengompol lagi!” omel Hye-Na, mengecup pipi anaknya sekilas.
“Kalian harus cepat-cepat punya anak, jangan anakku terus yang kalian monopoli! Masa di lebih dekat dengan kalian daripada aku!” protesnya.
“Kan kau sendiri yang sok sibuk mengurusi pernikahan kami,” balas Ji-Yoo.
“Aku kan tidak sempat mengurusi pernikahanku sendiri, jadi aku mau balas dendam sekarang! Keren, kan?”
Aku mencibir. Dasar Hye-Na, selalu saja membanggakan diri sendiri.

***

KYUHYUN’S POV

Eunhyuk memintaku jadi wedding singer dadakan. Sial, sejak kapan aku menyanyi tidak dibayar?
Aku naik ke atas panggung, menoleh kesana-kemari mencari sosok Hye-Na di antara lautan manusia. Dia sedang berdiri di sudut, asyik mengobrol dengan Eun-Ji. Dasar yeoja! Dulu bertengkar, sekarang malah seperti kembar siam. Pasti mereka sedang membicarakan tentang perjodohan itu lagi.
Aku mengambil gitar, duduk di atas kursi yang disediakan lalu mulai memetik senarnya.

I can’t believe I’m standing here
Been waiting for so many years
And today I found the queen to reign my heart
(Aku tidak percaya aku bisa berdiir disini
Telah menunggu selama bertahun-tahun
Dan hari ini aku telah menemukan seorang ratu yang akan memerintah di hatiku)

You changed my life so patiently
And turned it into something good and real
I feel just like I feel in all my dreams
(Kau mengubah hidupku dengan penuh kesabaran
Dan membuatnya mnejadi sesuatu yang indah dan nyata
Aku merasakan seperti apa yang kurasakan di seluruh mimpi-mimpiku)

There are questions hard to answer
Can’t you see?
(Ada banyak pertanyaan yang sulit untuk dijawab
Tidak bisakah kau lihat?)

Baby, tell me how can I tell you
That I love you more than life
Show me how can I show you
That I’m blinded by your light
When you touch me I can touch you
To find out the dream is true
I love to be loved by you….
(Sayang, beritahu aku bagaimana caranya aku memberitahumu
Bahwa aku mencintaimu lebih dari hidup
Tunjukkan padaku bagaimana caranya aku bisa menunjukkan padamu
Bahwa aku dibutakan oleh cahayamu
Saat kau menyentuhku aku bisa menyentuhmu
Untuk mengetahui bahwa semua mimpi itu benar
Aku mencinta untuk dicintai olehmu)

You’re looking kind of scared right now
You’re waiting for the wedding vows
But I don’t know if my tongue’s able to talk
Your beauty is just blinding me
Like sunbeams on a summer stream
And I gotta close my eyes to protect me
Can you take my hand and lead me from here, please?
(Kau terlihat takut sekarang
Kau menanti janji pernikahan
Tapi aku tidak tahu apakah lidahku bisa bicara
Kecantikanmu saja membutakanku
Seperti sinar matahari pada aliran musim panas
Sehingga aku harus menutupi mataku untuk berlindung
Bisakah kau menarik tanganku dan memimpinku dari sini?)

I know they gonna say our love’s not strong enough to last forever
And I know they gonna say that we’ll give up because of heavy weather
But how can they understand that our love is just heaven sent?
We keep on going on and on cause this is where we both belong
(Aku tahu mereka akan berkata bahwa cinta kita tidak cukup kuat untuk bertahan selamanya
Dan aku tahu mereka juga akan berkata bahwa kita akan menyerah karena situasi yang berat
Tapi mana mungkin mereka mengerti bahwa cinta kita adalah kiriman dari surga?
Tapi kita terus dan terus bertahan karena ini adalah tempat milik kita berdua)

Marc Terenzi – Love To Be Loved By You

Hye-Na tersenyum padaku saat aku menuntaskan melodi terakhir. Aku sama sekali tidak memedulikan tepuk tangan dari para tamu. Yang aku tahu hanyalah dia yang sedang berdiri disana, paling berkilau di antara ratusan gadis lainnya.
Aku memberi kode pada pelayan untuk melaksanakan perintahku. Sebuah kejutan kecil untuk istriku tersayang.

***

HYE-NA’S POV

“Maaf Nyonya, ini ada kiriman dari suami Anda.”
Seorang pelayan berdiri di hadapanku, mengulurkan sebuah amplop berwarna putih. Aku mengambilnya, tersenyum, lalu mengucapkan terima kasih.
Aku berjinjit mencari Kyuhyun. Tapi dia tidak kelihatan dimanapun.
“Ayo buka!” seru Eun-Ji semangat.
Aku merobek amplop itu, mengeluarkan isinya. Dua lembar tiket ke Paris?
“Bulan madu kedua. Yang pertama kan tidak sukses,” ujar Kyuhyun yang tiba-tiba saja sudah berdiri di belakangku.
Eun-Ji nyengir bersalah ke arah kami, mengacungkan jari telunjuk dan jari tenganhya membentuk tanda damai.
“Dalam rangka apa?” tanyaku dengan nada memprotes. Dia kan tahu aku tidak suka kemewahan. Membuang-buang uang seperti ini.
“Ulang tahunmu. Ulang tahun pernikahan kita. Masa kau lupa?”
“Romantis sekali!” cetus Eun-Ji dengan nada mengejek kemudian berlalu pergi untuk mencari suaminya.
Wajahku sudah memerah sekarang. Bodoh sekali aku! Masa aku bisa melupakan hal-hal sepenting itu?
“Mianhae,” gumamku.
“Hmm, tidak usah dipikirkan. Jino mana?”
“Eomma,” ucapku tak jelas.
Dia menatapku lalu tersenyum, menepuk tanganku untuk menenangkan.
“Kan sudha kubilang, tidak apa-apa. Oke?”
Aku mengangguk, berusaha menyingkirkan perasaan bersalahku. Dia sudah memberi terlalu banyak sedangkan aku? Apa yang sudah kulakukan untuknya?

***

HYE-NA’S POV

Taraaa… Paris again! Dan tetap saja tempat ini masih semempesona biasanya! Menakjubkan!
Agak egois mungkin karena hanya untuk kesenangan semata, kami harus menitipkan Jino pada eomma. Tapi aku bisa tenang karena da sepasang pengantin baru yang dnegan senang hati mau mengurus anakku. Dua pasang sebenarnya karena Eun-Ji juga mendesak kami berdua untuk memperbolehkannya merawat Jino selama satu hari. Ngomong-ngomong, ternyata dia adalah yeoja yang menyenangkan. Heran kenapa dia dulu bisa semenyebalkan itu.
Hari pertama disini kami berkeliling kota, melihat Sungai Seine, museum Madam Thussaud (sayang sekali belum ada patung lilin Robert Pattinson disana! Padahal aku kan ingin berfoto dengannya! Sekedar patung lilin juga tidak apa-apa. Mungkin aku akan memohon pada Kyuhyun untuk liburan ke Forks, tempat syuting Twilight. Untuk menghibur diri aku berfoto dengan patung lilin Daniel Radcliffe), ke stadion bola, dan banyak lagi! Aku tidak bisa mengeja nama tempatnya.
Hari kedua?
“Aku tidak mau!” teriakku, memprotes waktu Kyuhyun membawaku ke restoran super mewah tempat aku diusir dulu itu.
“Tenanglah, tidak apa-apa.” Kyuhyun berusaha menenangkanku.
“Kau tidak lihat? Aku pakai sandal, Kyuhyun~a!”
“Peraturannya sudah berubah,” ujarnya singkat lalu menarik tanganku masuk. Penjaga pintu waktu itu mengangguk sopan ke arahku. Sama sekali tidak menampakkan wajah mencelanya dulu padaku.
“Bagaimana bisa?” tuntutku, terbelalak saat melihat bahwa restoran itu kosong melompong tanpa pengunjung.
“Aku sudah membelinya,” ujar Kyuhyun dengan nada terdengar biasa-biasa saja, tidak peduli sama sekali.
“Gila!” teriakku syok.
“Investasi jangka panjang. Aku tidak akan menyia-nyiakan uangku untuk hal-hal tak berguna, Hye-Na~ya.”
Aku hendak membuka mulut untuk protes tapi dia sudah memotong ucapanku duluan.
“Dan aku sudah menyumbang ke panti asuhan.”
Huh, dia benar-benar sudah memikirkan segalanya.

***
Jujur saja, makanannya enak sekali! Pantas saja restoran ini begitu mewah.
Aku menyilangkan sendokku di atas piring setelah selesai makan, meneguk air putih untuk melancarkan pencernaan.
“Hei, aku sudah mendapatkan lirik untuk laguku waktu itu. Kau mau dengar tidak?”
Aku mengangguk antusias. Dia beranjak pergi dari hadapanku, duduk di depan sebuah grand piano dan sedetik kemudian sudah memainkan nada-nada indah dari tuts-tutsnya.

Aku ingin menjadi mentari, tapi kau terlalu bercahaya sehingga sinarku menjadi mati….
Aku ingin menjadi bintang, tapi aku takut ditolak malam, karena sudah ada kau… benderang yang sanggup menandingi bulan…
Aku ingin menjadi pangeranmu, tapi kau tidak berniat memilikiku…
Maka aku bertanya pada angin, apakah kita ada di takdir kehidupan?
Karena jika tidak di dunia aku akan mengejarmu sampaai ke alam baka…
Apabila tidak berhasil juga, aku akan menyusulmu ke surga…
Atau meminta kita dipersatukan di panasnya api neraka….

***

Setelah permohonan disertai paksaan sedemikian rupa, akhirnya dia mau mengalah dan mengikutiku ke Eiffel!
“Masa kau tidak bosan juga?” protesnya padaku.
“Yah, kemarin kan aku kurang menikmati,” ujarku mengajukan pembelaan.
Kami duduk di kursi taman yang langsung menghadap ke Eiffel. Dia menyusulku setelah membeli du gelas kopi Starbucks untuk kami berdua.
“Lalu apa yang akan kita lakukan? Melihat cahaya lampu Eiffel? Benar-benar kencan yang romantic!” ejeknya.
“Bagaimana kalau kau bercerita?” usulku.
“Cerita apa? Putrid Salju? Atau Cinderella?
“Ceritakan apa yang kau rasakan dari awal kita bertemu. Aku penasaran sekali…” cetusku, tidak mempedulikan ejekannya.
Dia mengerutkan kening sesaat.
“Kau tanya, aku jawab,” putusnya.
“Apa pendapatmu waktu kita pertama kali bertemu?”
“Jujur, aku berpikir bahwa kau  adalah wanita paling menarik yang pernah kulihat. Dan yang mengherankan adalah entah mengapa aku merasa bahwa aku sangat merindukanmu. Aku pergi waktu itu karena tidak mau lepas kendali dan memelukmu.”
Wow….
“Lalu… waktu di apartemenmu, kenapa kau menciumku?”
“Aku… agak kaget waktu melihatmu. Di saat-saat seperti itu, laki-laki akan sedikit… hilang kendali… dan… eh… kau mengerti kan kalau aku bilang laki-laki itu lebih mengandalkan nafsu?”
Aku mengangguk, sama sekali tidak habis pikir bagaimana mungkin wanita sepertiku bisa membuatnya bernafsu.
“Kenapa kau setuju menikah dneganku?”
“Sudah kubilang, aku merasa memiliki ikatan yang sangat kuat denganmu…. Seolah-olah aku sudah mengenalmu bertahun-tahun, mencintaimu setiap hari. Aku malah sempat berpikir bahwa aku mengalami amnesia.”
“Kalau ketertarikanmu padaku sebesar itu, kenapa waktu itu kau berusaha membatalkan pernikahan kita?”
“Pertaruha besar sebenarnya. Di satu sisi aku tidak ingin kau dan Eunhyuk berpisah gara-gara aku. Tapi di sisi lain aku begitu egois, begitu menginginkan kehhadiranmu. Aku hanya ingin bersikap gentleman saja, berharap kau menolak membatalkan pernikahan kita. Dan untung saja iya.”
“Bagaimana kalau tidak?”
Dia menatapku dan mengangkat bahunya.
“Mungkin aku akan berusaha mengubah pikiranmu. Mengiba-iba kalau perlu.”

***

Aku mneutup telingaku dari segala hiruk-pikuk beribu-ribu orang di gedung ini. Gila, ternyata Kyuhyun seterkenal ini!
Aku menoleh ke sekeliling, yeoja-yeoja yang berteriak memanggil nama Kyuhyun, T-Shirt bertuliskan “Kyuhyun, Saranghae!”, serta spanduk dan balon.
Hari ini aku memutuskan untuk menonton konser Kyuhyun, tanpa sepengetahuannya. Hanya ingin tahu seberapa dahsyatnya pengaruh suamiku itu di industri musik Korea. Ini bahkan lebih parah daripada apa yang pernah kubayangkan.
Kyuhyun muncul di panggung dalam balutan jas semi formal dan kaus putih, diiringi dnegan teriakan dari para penggemarnya. Dia seribu kali lebih tampan dari biasanya. Dan… aku mneyukai fakta bahwa dia adalah milikku.
Nekat, aku ikut berteriak dengan para penggemarnya, sampai tenggorokanku terasa sakit. Suaranya benar-benar bagus. Dan penampilannya benar-benar memukau.
Satu jam kemudian konser berakhir. Aku memutuskan keluar belakangan daripada tergencet-gencet orang lain.
“Hai!”
Aku berbalik cepat dan mendapati Kyuhyun sudah berdiri di hadapanku. Aku melongo kaget, setengah sadar saat Kyuhyun menarikku keluar dari kerumunan.
“Bagaimana kau tahu?” tuntutku setelah berhasil mengendalikan diri. Aku memakai topi dan kacamata hitam, sehingga mustahil dia bisa mengenaliku. Masa dia bisa menyadari kehadiranku di antara beribu orang itu?
Dia mengedikkan bahu.
“Molla. Aku hanya merasa aku mendengar suaramu. Lalu tiba-tiba saja kau sudah ada dalam jarak pandangku.”
Dia… Cho Kyuhyun…. Tidak bisakah dia berhenti membuatku sesak nafas?

***

Aku naik ke atas tempat tidur setelah menidurkan Jino. Kyuhyun tersenyum padaku lalu mengulurkan sebuah amplop.
“Apa lagi ini?” protesku, mengambil amplop tersebut kemudian membukanya.
Teriakanku menggema sedetik kemudian. Aku memeluk Kyuhyun lalu mengecup bibirnya sekilas.
Tiket ke Amerika plus voucher menginap di Forks selama satu minggu! FORKS!!!
“Aku baru tahu bahwa kau benar-benar tampan sekali!”
“Kau tidak mau protes?” ejeknya.
“Tidak akan. Oh, akhirnya aku akan bertemu Edward Cullen, pria dengan ketampanan paling spektakuler di muka bumi!”
“Hye-Na~ya, beberapa detik yang lalu kau bilang aku tampan, lalu sekarang kau malah memuji ketampanan pria lain,” ujarnya dnegan nada memprotes.
Aku nyengir ke arahnya.
“Itu lain cerita, Kyuhyun~a! Kau suamiku, sedangkan dia hanya idolaku. Apa yang kau cemburui?”
“Itu artinya ada namja lain di otakmu.”
Aku sama sekali tidak pernah memberitahunya bahwa aku ingin sekali ke Amerika, tapi dia tahu… dia selalu tahu….
“Saranghae…” bisikku.
Dia tampak berpikir sesaat kemudian tersenyum.
“Sepertinya bisa dimaafkan,” kata Kyuhyun seraya meraihku ke dalam pelukannya.

***

KYUHYUN’S POV

Lima hari menjelang keberangkatan kami ke Amerika, aku memberinya sebuah kejutan lagi.
“Bagaimana?” tanyaku meminta pendapatnya. “Kau suka tidak?”
Dia terdiam, memandang bangunan elegan di depan kami. Sebuah rumah sederhana yang begitu manyatu dengan alam. Sungai kecil mengalir di halamannya, dengan jembatan yang terhubung dengan teras rumah. Taman bunga yang indah, air mancur mini, serta jalan setapak yang terhubung dengan halaman belakang rumah, dimana terdapat danau dan gazebo sebagai tempat menghabiskan waktu bersama.
Kemudian dia menggeleng.
“Kau tidak suka?”
“Kata suka itu tidak pantas Kyuhyun~a. aku jatuh cinta pada rumah ini!” serunya antusias.
Aku mengecup keningnya seraya mengelus kepala Jino yang sednag menatapku dengan mimik wakjahnya yang lucu.
“Eomma tidak akan keberatan, kan?” tanyanya was-was.
“Tentu saja tidak. Malah dia yang menyarankan agar kita membeli rumah. Dia tidak suka kita tinggal di apartemen. Lagipula letaknya kan tidak terllau jauh dari rumah eomma. Hanya 15 menit. Dia bisa sering-sering kesini.”
Dia mengernyit lalu menatap rumah itu lagi.
“Aku yakin aku tidak pernah kesini sebelumnya, tapi kenapa aku merasa bahwa aku begitu mengenal rumah ini?”
Aku tertawa, kemudian mengacak-acak rambutnya.
“Kau tahu kenapa aku membeli rumah ini? Karena aku juga merasakan hal yang sama. Tempat ini familier sekali. Seperti kembali ke rumah.”
Dia mengangguk setuju, memegangi tangan Jino yang mulai asyik memuntir-muntir rambutnya.
“Di ujung sana ada apa?” tanyanya tiba-tiba seraya menunjuk jalan setapak di sudut halaman.
Aku berfikir sesaat, ingin memberikan jawaban lain padanya. Dia menatapku, menuntut jawaban. Saat itulah aku melihat sinar matahari memantul dari wajahnya… begitu menyilaukan… seperti hawa…. Lalu aku mulai bicara tanpa sadar.
“Tidak peduli di ujung sana ada apa… asal bisa bersamammu… semua tempat adalah surga….””

END

Tidak ada komentar:

Posting Komentar